Selasa, 17 Desember 2013

Sudah Bukan Rintik Lagi

Aku tak begitu menyukai hujan. Hujan membuatku harus berpayah melawan saat mengendarai motor. Tetesannya mencipta embun di luar lensa kacamataku. Menutup pandangan. Aku tak suka.

Hujan membuatku repot dengan jas hujan. Bila memakai model atas bawah, aku kesusahan dengan rok span coklatku. Namun, jika memakai model kelelawar, bagian bawah tubuhku kebasahan.

Belum lagi jika aku terjebak hujan dengan temanku. Harus berbagi. Satu sama lain saling berusaha mengalah untuk memakai. Namun tak urung akhirnya kami putuskan untuk tak memakai.

Hujan membuat pria tua penjual sayur itu bersusah mengayuh sepeda bututnya. Gerobak sayur di belakangnya mungkin sudah penuh air karena tak tertutup. Ah, sesenja itu.

Hujan juga membuat pengemudi pick up L-300 hitam tersebut tak bertanggungjawab atas gesekan pada sepeda anak SMP. Kau tahu, aku dan ibu di sebelahku hanya bisa terkejut, lalu berteriak istighfar melihatnya bangkit dengan sepedanya.

Namun setidaknya, hujan membuat riang anak-anak SD selepas bel pulang berdering.

Jumat, 13 Desember 2013

Ketika Seseorang Berkata Padaku

Seseorang berkata padaku, "Apakah kamu ingin jadi ustadzah?" 

Kalimat yang terlontar dalam sebuah percakapan SMS. Ketika aku mulai mencari informasi mengenai kursus mengaji atau informasi kegiatan keagamaan. Ditambah perubahanku dua bulan terakhir ini. Perubahan penampilan lebih tepatnya. 

Seseorang berkata kepadaku, "ketika kamu hendak memakai pakaian, pasanglah kancing dari bawah seraya berdoa agar pakaian yang kamu kenakan mampu mengangkat derajatmu." 

Sejak itu aku mulai menerapkannya. Arti filosofinya mungkin begini, ketika kita mengancing dari bawah dapat diartikan pergerakan untuk mencapai derajat tertentu selalu diawali dari level terendah, kemudian sedikit demi sedikit merangkak ke atas. Berdoa seperti itu menarikku untuk berpikir dua kali dalam berpakaian. Ketika pakaian yang ku kenakan terasa tak sepantasnya, maka akan timbul rasa malu. Masa iya, kita mengenakan baju tak patut tapi minta dinaikkan derajatnya? 

Seseorang berkata padaku, "Ketika bercermin hendaknya kamu berdoa agar Allah membaikkan akhlakmu sebaik Dia menciptakan dirimu."

Sama dengan berpakaian, kini aku mulai menerapkannya saat bercermin. Meski sering lupa juga. Ketika lupa dan segera ingat kelalaian, maka lekas-lekas aku berdoa sembari menutup mata agar tak melihat ke cermin dulu. 

Seseorang berkata padaku, "Ketika kamu marah, diamlah."

Pada dasarnya aku adalah seorang yang mudah meninggi. Mudah tersinggung dan mudah menyolot. Tapi juga mudah dingin. Ketika dingin, rasa sesal kerap muncul, akibatnya sering salah tingkah sendiri. Ketika ia berkata padaku, aku berusaha untuk menarik nafas panjang dan diam. Meski terkadang masih susah menjalankannya. Tapi alhamdulillah, emosiku sudah mulai bisa ditaklukkan. Lalu seseorang lagi berkata padaku, "Ketika marah, bacalah surat Al Ihklas sambil menarik nafas dan rasakan ayat-ayatnya memenuhi rongga hatimu. Lakukan 3x. Lalu ia melanjutkan, "Jadilah seperti surat Al-Ikhlas, ketika kamu ikhlas tak perlu diucapkan karena Al-Ikhlas pun tak pernah menyebutkan kata "ikhlas" dalam susunan ayatnya."

Lalu, seseorang berkata lagi padaku, "Kalau ada adzan, jangan berisik. Simak dan dengarkan, karena orang yang tak menghiraukan adzan nanti di akhirat dibuat tidak dengar ketika namanya dipanggil"

Langsung takut, entah benar entah tidak. Seyogyanya, yang ku tahu menghormati adzan adalah mendengarkan dan menyimak. Jadi, tak ada salahnya kan? Ditambah dengan membaca doa setelah adzan berkumandang. Makin sip! 

Ketika terjaga, aku berusaha berdoa agar diberi ketajaman intuisi. Peka terhadap nasehat, juga suka dengan kritik orang lain. Berbicara tentang kritik, jadi ingat pengalamanku dulu. Pagi itu, sembari bersiap kerja aku berdoa, "Ya Allah, lebarkan telingaku agar mampu menampung setiap kritikan, juga luaskan hati dan pikiranku agar tak mudah tersulut emosi sebelum benar-benar mencernanya dengan baik. Ketika sampai di tempat kerja, ada kritikan pedas yang ku terima. Entah karena doaku sudah di dengar atau kebetulan (Ah, tak pernah ada kebetulan), kala itu aku langsung diam dan berpikir. 

Terkadang, seseorang membutuhkan waktu panjang untuk sekedar bisa membaca gerak dan bekas yang ada pada diri. Aku pribadi masih tertatih-tatih dalam hal ini. "Who am I? " Pertanyaan ini selalu bergelayut manja. Kata orang, apa yang kita temui adalah apa yang kita lakukan. Semacam karma, mungkin. Seseorang juga pernah berkata, ketika ia mengalami hal tidak mengenakkan dari orang lain, seketika ia berbicara pada dirinya, "Apakah aku pernah memperlakukan orang seperti ini?"

Perlahan namun pasti, setiap perubahan besar selalu di awali yang kecil. Aku yakin. Semoga. 
Kini, aku tidak perduli dengan perkataan orang mengenai penampilan baruku. Terserah mereka mau bilang aku seperti guru ngaji, guru agama, atau apalah. Aku doakan semoga yang berkata begitu segera mengikutiku, karena dulu aku juga bersikap seperti itu terhadap mereka yang berpakaian tertutup. Nah...kan?

Ah..pe-er ku masih banyak. Amat sangat banyak. 
Percaya deh...Allah senang lihat hamba-Nya berusaha memperbaiki dirinya. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa ia berusaha merubahnya? 




Rabu, 11 Desember 2013

Tuhan, Ijinkan Ku Lihat Rupaku Dalam Cermin

Apakah selamanya aku menjadi aku?
Apakah watak adalah aku?
Apakah karakter adalah takdir?

Di pagi hari sebelum memulai aktifitas, sembari berbenah di depan kaca lemari kamar. Aku selalu menyisihkan waktu untuk berdialog dengan bayangan dalam cermin. Bayangan yang mereka sebut AKU. Sambil manggut-manggut menatap bayangan, ku selipkan doa, "Ya Allah, baikkan akhlakku sebaik Engkau menciptakan diriku". 

Doa lain yang selalu kubisikkan, "Tuhan, pertemukan aku dengan orang baik yang bisa membaikkanku." Dibalik doa itu beriring tanda tanya besar. Aku selalu bertanya balik pada refleksi dalam cermin, Tuhan, apakah orang-orang yang aku temui juga berdoa yang sama denganku? Apakah aku orang baik yang Engkau pilih atas jawaban doa mereka?

Aku percaya setiap perjumpaan adalah bagian dari catatan-Nya. Aku selalu berusaha untuk "mencuri" sesuatu dari setiap orang yang ku temui. Mencuri kesopanannya, mencuri keanggunannya, mencuri ketulusannya, mencuri kesabarannya, mencuri keriangannya, mencuri ketegasannya, mencuri kesederhanaannya, mencuri kewibawaannya, mencuri...mencuri...mencuri...

Aku akan terus berusaha mencurinya dari mereka. Oya, bukankah mencuri kebaikan seseorang tidak akan mengurangi kadarnya? Bukankah setiap kebaikan yang berhasil ditiru adalah amalan jariyah tak terduga baginya?

Aku harus menjadi pencuri...
Tak cukup pencuri hatimu saja. :D



Minggu, 08 Desember 2013

Ondomohen, Simpan Senjaku Selalu Untuknya!

Oleh : Rahayu Lestary

Entah sudah berapa senja ku habiskan dengan senyuman sendu. Duduk manis bercengkerama dengannya seakan membunuh kenyataan memilukan. Andai pria ini memiliki keberanian sebesar gunung, mungkin tamparan berita itu akan sampai dengan pasti di telingaku.

Menyusuri senja bersamaku di sepanjang jalan Ondomohen seakan menjadi rutinitas baginya. Tak peduli seberapa keras rengekan pelanggan di ujung ponsel genggamnya. Ia begitu sabar menuntun tubuhku yang ringkih terbalut sweater biru kesayangaku.

Daun pohon yang terus tumbuh seakan menjadi payung surga bagi kami, pengantin yang tak lagi baru. Sepuluh tahun bersamanya tanpa kehadiran seorang anak tak membuatnya lepas setia. Sakit mematikan yang ku derita pun tak membuatnya resah dengan resiko kepastian tertular. Ya, aku postitif pengidap HIV. Virus mematikan dari jarum dosa di masa lalu.

Rumah kami tak jauh dari Ondomohen, tepatnya di jalan Jagung Suprapto. Rumah model Belanda hadiah dari sebuah LSM yang peduli terhadap pesakitan sepertiku. Aku dan ia masih menjadi aktivis pemerangan Narkoba di Surabaya. Namun, satu tahun terakhir aku sudah tidak mampu bertugas secara maksimal. Malah lebih sering kawan-kawan mengunjungiku ke rumah.

Mas Yudi, nama suamiku. Ialah malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Ketika aku begitu menjauh dari-Nya, dia begitu lembutnya menarikku kembali pada-Nya. Kami memiliki latar belakang yang berbeda. Ia lelaki perkasa bertulang punggung sempurna dan jauh dari penyakit, begitu relanya melepaskan untukku. Sejak awal ia telah tahu dan siap dengan segala resikonya. Ah Mas… tak cukup seribu malam ku tulis kisah untukmu. Sekali lagi ku katakan, Tuhan begitu baik.

Ketika malam tiba, ia selalu menyeduh dua cangkir teh hangat untukku dan untuknya. Taman belakang adalah tempat favorit kami. Kolam kecil di ujung taman serta ayunan kayu sengaja ia buat untuk memanjakanku. Ia selalu lebih tahu apa mauku sebelum bibirku terbuka. Cinta terkadang lebih hebat dari sihir.

Bercengkerama menghabiskan malam dalam pelukan hangat adalah surga Tuhan kedua setelah surga kekal-Nya. Walau tak yakin pasti apakah surga masih merindukanku. Dalam rengkuhan manja, aku bertanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Rengkuhan yang semakin dalam ialah jawabannya. Aku tak pernah berhasil mendapatkan jawaban lugas darinya, tapi selalu bisa ku cerna dari sinar mata dan hembus nafasnya. Terasa sekali, ketika ku dekap, ia mendekap lebih dekat. Lebih erat. Hingga ku dengar detak jantungnya. Begitu dekat. Tuhan, ijinkan aku menyembunyikan mentari agar pagi tak menjelang.

Hari ini Mas Yudi berangkat kerja pagi-pagi sekali karena ada pekerjaan di Bojonegoro. Ia mengenakan kemeja biru bergaris putih dengan senyum yang terus merekah. Aku tak curiga, karena memang begitu kebiasaannya. Diraihnya kunci mobil, lalu dikecup keningku dan ku sambut dengan belaian lembut pada jemarinya. Tak lama Kijang hitamnya melaju perlahan.

Selepas kepergian Mas Yudi, aku kembali ke kamar dengan kursi rodaku. Aku sudah tak mampu berjalan. Kursi roda menjadi penopang tubuhku kini. Ku raih bingkai poto pernikahan kami di meja, kembali aku terhanyut dalam isak. Ketika sendiri, aku selalu merasa tak mampu menjadi istri sempurna untuknya. Tak mampu memberikan anak, mengurusi dapur, mengurus pakaian, atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Bahkan, sekedar membersihkan tubuh pun aku tak bisa.

Mas Yudi pernah berkata, masakanku selalu membuatnya rindu, terutama ayam goreng bumbu rujak buatanku. Itu makanan favoritnya. Dulu selalu ku sempatkan setiap akhir pekan memasak untuknya. Namun kini, semua hanya kenangan. Aku semakin lemah.

Aku terus merasa sepi dan sendiri. Ayah dan Ibu telah meninggal beberapa tahun silam. Sanak saudara pun tak punya. Penyakit ini membuat mereka enggan mencariku, bahkan mengutuk untuk tujuh turunan mereka. Kembali aku merasa sendiri.

Pukul tujuh malam, tak juga ku dengar pintu pagar dibuka. Setiap terdengar deru mobil, aku melongok ke jendela berharap itu suamiku. Ah, lagi-lagi bukan. Ratusan kali ku telpon, tak ada respon darinya. Ku coba hubungi kembali. Tiba-tiba puluhan sms masuk bertubi-tibu.

“Assalamu’alaikum  Bun, Bunda maafkan Abi, disini signal trouble, Abi tak bisa menghubungi Bunda. Bunda sedang apa? Sudah makan? Sudah sholat? Obatnya sudah dimakan? Abi sudah perjalanan, tiga puluh menit lagi Abi sampai.”  Beberapa pesan yang sama masuk berkali-kali. Tak lama Mas Yudi menelpon, menjawab kegelisahanku.

Kau tahu? Tak terukur leganya ketika kau lihat orang yang kau sayangi dapat kau sentuh. Seperti menunggu kerang membuka cangkangnya, indah sekali cahaya di dalamnya. Mas Yudi tampak begitu lelah malam ini, setelah mengurusiku ia bergegas membersihkan diri. Malam ini rasanya rindu sekali padanya. 
***
Ini adalah senja ke sekian kalinya. Dapat ku rasakan tubuhku tak lagi bertulang, ngilu disana sini, berat badan yang semakin menurun, serta pandangan yang kian buram. Sekali lagi ku Tanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Senyummu kini menjadi jawaban atas pertanyaan yang tak pernah lelah ku ulang.

Kali ini kami duduk di depan Kotamadya Surabaya, menikmati lalu lalang kendaraan dan keriangan anak kecil yang berlarian di depan air mancur. Aku selalu bisa melihat kerinduan di matanya, ketika diam-diam ia mencuri pandang pada mereka. Maafkan aku, Mas. Bisikku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang balita berlari mengejar bola plastik yang melaju ke jalan raya. Sekilas ku lihat orang tuanya sedang antri membeli pentol di sebelah. Tak menyadari kelalaiannya. Entah bagaimana awalnya, Mas Yudi sudah terkapar di tengah jalan dengan tangisan balita itu di sebelahnya. Suara benturan tubuh dan deritan rem beradu pada ban di jalan. Darah segar tampak keluar dari area kepalanya. Aku tersedak dalam teriakan panjang. Seketika tubuhku lemas tak berdaya.

Di sudut jalan Ondomohen, di bawah payung surga, kau rebahkan duka dengan bekal senyumku dalam dekapan. Tuhan, tak semudah ini kisahku. Kau tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit. Bisikku lirih.
----------------------------------------------------------------------------------------

(Sidoarjo, Desember 2013)
Tugas Cerpen FLP


Jumat, 06 Desember 2013

Benalu

Seperti jarum jam, berputar tapi tetap satu poros.
Terjangkau namun tak kunjung pasti.
Kanda, apakah engkau Tuhan bagiku?

Hingga satu ketika, tenagamu terputus tanpa sengatan listrik.
Tak berdetak. Tiada yang membantumu.
Menerawang matahari menebak waktu.
Kanda, apakah aku Tuhan bagimu?



K A R M A


Sekali lagi, ku lihat pria tua itu disana
Lampu merah seakan surga baginya
Sengatan matahari bagai cahaya penerang
Kumpulan asap yang mengepul bagai oksigen

Bergerak dari satu kaca ke kaca yang lain
Menjajakan roti goreng dengan tangan keriput
Sebagian pengemudi sengaja membeli karena iba
Kaos lusuh hadiah kampanye sebagai pembungkus aurat
Bau keringat yang menyengat
Membuat Lalat enggan mendekat

Jalannya sudah tak lagi tegap
Sesekali terhuyung dan mengendap
Kakinya yang penuh borok
Menandakan tingginya kadar gula dalam tubuh
Semut nakal seringkali menggerogoti kakinya

Tat kala letih, di letakkan ember dagangan di sisinya
Duduk sendu di bawah rambu tak boleh berhenti
Berkipas kardus lusuh yang dibawa entah berapa lama

Mungkin dinginnya hujan, dihitungnya bonus pendingin ruangan
Dewi fortuna tak selalu berpihak padanya
Tenaga semakin rapuh, tapi tubuh butuh peneguh

Timbul pertanyaan dalam benak penumpang angkot
Kemana keluarganya?
Dimana anaknya?
Haruskah pria se-senja itu merangkak mengais rejeki?
Berjuta pertanyaan menusuk rongga dada mereka

Lagi-lagi ku perhatikan kembali
Iba ku telah mengeras beribu hari lalu
Pantaslah pria sekejam itu berjuang untuk hidupnya
Tat kala tiada padi yang ditanam
Bagaimana bisa ia mengharap sejumput beras?
Melupakan hempasan tangan di setiap bagian tubuh
Tak semudah menyulam celana yang robek
Ada harga yang harus dibayar
Biarlah ia, merakit menutup dosanya di pinggiran jalan ibukota



(Sidoarjo, Rahayu Lestary)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tugas FLP Kelas Puisi

Rabu, 20 November 2013

Cerpen - RINDU RINA

Namanya Rina. Kulitnya kuning langsat, alis tebal, mata bulat dengan tatapan tajam. Gadis ini, lima belas tahun usianya, selalu riang seelok namanya. Rina suka sekali pada hujan. Baginya, hujan adalah kenangan yang tersibak. Menikmati hujan adalah elegi. Tapi dia suka. Begitu banyak kenangan tak menyenangkan saat hujan. Kenangan Ibunya yang tertabrak mobil mewah pada saat hujan deras, atau kesedihan ketika ia kehilangan kucing kesayangannya. Semua terjadi kala hujan. Tapi entah, dia tetap suka.




Diliriknya kalender bergambar Doraemon di meja belajarnya, Nopember. Ah, mengapa tak kunjung datang juga? Desisnya. Cuaca yang tak pasti, membuat rindunya kian menjadi. Rindu pada tetesan hujan di ujung jilbabnya, rindu pada aroma tanah yang tersiram air hujan, pun rindu pada semerbak wangi melati.



Sekali lagi, diliriknya kalender. Harusnya sudah datang. Menurut ramalan cuaca di koran kemarin, direncanakan kau datang di bulan ini. Mengapa hanya janji semu? Kau wakilkan mendung tanpa setetes pun air terjatuh. Aku rindu. Rindu bukan buatan. Ah, tak kunjung hadir hujanmu. Tapi mengapa hujan di kelopak mataku tak mampu ku tahan?

----------------------------------------------------------------------------------------
Sidoarjo, 10 Dzulhijjah 1434 H
Cerpen kembangan dari puisi Rindu Rina
Rahayu Lestary

Puisi - RINDU RINA

Menatap langit, masih ku lihat senja keemasan
Ku lihat deretan angka dalam kalender
Selamat datang Nopember
Bulan kesebelas dari dua belas

Aku rindu aroma tanah yang tersiram hujan
Aku rindu semerbak wangi melati
Sesekali ku lihat kembali kalender

Nopember, tak kunjung hadir hujanmu
Tapi mengapa hujan di kelopak mataku tak mampu ku tahan? 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surabaya, 29 Dzulqa`dah 1434H
Rumca Az-Zahra Telkom Ketintang
Tugas puisi di Seminar dan Open Recruitmen FLP Surabaya
Rahayu Lestary


Senin, 18 November 2013

Berpuisi Bareng FLP Surabaya

Pertemuan pertama seleksi anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Surabaya di pekan kedua bulan Nopember 2013, bertepatan tanggal 17. Bertempat di Rumah Baca A-Zahra Telkom Ketintang Surabaya. Bersama dengan beberapa kawan yang antusias menyambut pertemuan hari itu. Kali ini materi yang dibahas tentang puisi dengan tutor keren bernama Umar Fauzi Ballah. Seorang penyair asal Sampang, Madura. Alumnus Sastra Indonesia Unesa, aktif di KRS (Komunitas Rabo Sore) dan Forum Sarbi. Jatuh cinta pertama kali pada puisi Do`a karya Chairil Anwar saat duduk di kelas 1 SMA yang mengantarnya untuk menulis puisi pertamanya.

Kelas Puisi

Mas Fauzi membagikan pengalaman dan tips & trik untuk membuat puisi yang baik. Dalam sastra modern, puisi sekarang lebih bebas dan tidak terikat pada aturan a-b-a-b atau terdiri dari 4-12 suku kata. Pesan penting yang bisa disampaikan bagi penyair muda seperti kami adalah orisinalitas sebuah karya, baik gagasan, diksi maupun imajinasi yang dipilih harus benar-benar segar. Tema percintaan bagi Mas Fauzi adalah hal yang paling sering diambil, tapi baginya terlalu gengsi untuk menunjukkan rasa cinta yang berlebihan dalam puisinya. Gayanya yang unik, terlihat dari puisi yang ia hasilkan. Ketika ia mengagumi seorang wanita cantik, sebisa mungkin puisinya diarahkan ke formula lain tapi masih berkaitan. Seperti draft puisi Apel-nya. 

Gaya khas santai dan bersahaja

Beberapa hal dikemukakan dengan menarik mengenai persoalan puisi, antara lain :

Ide, Tema dan Judul
Sebuah puisi berawal dari ide atau gagasan penyair. Ide ini akan dituangkan melalui judul atau tema yang dipilih. Menurut mas Fauzi, jangan pernah meremehkan gagasan yang tiba-tiba muncul. Gagasan singkat itu seringkali bersifat seperti ilham. Segera catat dan simpan baik-baik. Gagasan atau ide yang sering muncul dapat sampai dengan berbagai media. Melalui status jejaring sosial seperti Facebook, twitter, dan lain sebagainya. Jika menemukan status yang menarik, segera copy paste di tempat yang aman. Setelah itu kembangkan menjadi sebuiah paragraf. Munculnya sebuah judul masing-masing penyair berbeda. Adalakanya penyair mengawali proses dari menyusun kalimat-kalimat indah, baru ketemu judul. Atau judul diketahui lebih dulu, dan dengan itu ia menyusun bait-bait. Yang pasti ketiga unsur ini saling mendukung dan menjadi pintu utama membaca sebuah sajak.

Diksi
Elemen penting selanjutnya adalah diksi atau pemilihan kata yang baik. Seorang penyair dituntut untuk memiliki perbendaharaan yang luas. Penguasaan kata dapat diperoleh dengan membaca, terutama karya sastra.Dengan membaca, lambat laun penulis akan memperkaya perbendaharaan katanya. 

Imajinasi dan Pencitraan
Elemen penting berikutnya adalah imajinasi. Seorang penyair dituntut untuk memiliki imajinasi yang tinggi untuk memperoleh efek keindahan, begitu kata Budi Darma. Dalam puisi, imajinasi dibutuhkan sebagai pendukung logika ataupun estetika bahasa yang berwujud pemajasan. 

Tipografi
Adalah perwajahan dalam puisi. Berwujud luaran seperti bentuk atau lukisan sebuah sajak. Tipografi dapat berupa penataan bait atau jumlah baris dalam setiap bait, jumlah kata dalam satu baris. Karena itu, tipografi menjadi sedemikian penting karena ia mempengaruhi makna sebuah puisi, di samping untuk memperoleh efek keindahan perwajahan. Semisal, dalam puisi berjudul Apel, tipografi buah apel lengkap dengan tangkai dan daun dapat dipilih sebagai unsur keindahan dan penguat makna puisi. 

Meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama kami

Selain beberapa elemen tersebut, Mas Fauzi juga menjelaskan bahwa puisi adalah karya sastra yang sangat detail, karena dengan pesan singkat berupa permainan kata diharapkan isi puisi dapat tersampaikan dengan baik. Jangan terlalu banyak menggunakan kata sifat seperti jelek, cantik, manis karena kata itu terlalu monoton, pilihlah diksi yang lebih detail. Begitu pesannya. 

Akhir-akhir ini banyak bermunculan komunitas Malam Puisi di beberapa kota di Indonesia, tapi kebanyakan puisi yang ditampilkan bukan puisi yang secara sah disebut puisi. Kebanyakan puisi yang dibuat lebih bersifat luapan emosi, itulah mengapa ia berargumen penulis dibedakan menjadi dua. "P" besar dan "p" kecil. 

Baginya, puisi yang baik adalah puisi yang dapat memberikan ruang untuk berfilosofi dan merenung serta menggetarkan hati bagi pembaca. 

Agenda langganan yang tak boleh tertinggal di akhir acara
Agenda berikutnya Insya Allah kelas cerpen sama Mbak Wina Bojonegoro, sayang sekali, sepertinya aku harus melewatkan kelas spesial ini. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surabaya, 13 Dzulhijjah 1434
Rumca Az-Zahra Telkom Ketintang
Rahayu Lestary



Kamis, 14 November 2013

Filosofi Jahe Anget

Pukul 8 pagi kurang 1 menit. Aku sampai kantor. Seperti biasa, pria paruh baya ini menyambutku dengan senyum sumringah. Masih mengenakan sarung dan peci hitam yang terlihat tak baru lagi. Ku lihat ia beranjak membersikan sisa-sisa sarapan paginya. Lalu bergegas membukakan pintu untukku. "Sarapan, Mbak" sapanya. "Sampun [1], Pak" sahutku. "Masih sepi, Mbak. Barusan Bapak dan Ibu berangkat." sambungnya. "Iya, Pak. Baru saya yang datang. hehe Saya naik dulu, ya?" jawabku.

Ku langkahkan kaki menapaki satu persatu anak tangga. Masih gelap, ku tekan saklar bertuliskan "ruang kerja" pada potongan kertas putih berisolasi di atasnya. Cuaca Sidoajo memang masih panas, tak terkecuali di pagi hari. Sedikit keringat menetes saat berkendara. Ku nyalakan AC dan kipas angin biru tinggi besar di ujung meja. Kalau siang, dua malaikat berwujud robot ini terkadang tak membantu sedikitpun. 

Ku nyalakan komputer sembari meletakkan tas dan melepas jaket biru kesayanganku. Tak lama pria paruh baya itu menyusulku, "Mbak, mau wedang [2] Jahe? kemarin saya beli satu renceng di Giant. Saya kasih ke Tacik [3] sebelah sama satpam depan. Saya buatkan, ya?" ulasnya menawariku."Wah, enak itu, Pak. Saya mau." Jawabku tanpa basa-basi. 

Tak sampai 5 menit, Pria Paruh Baya itu datang kembali dengan secangkir jahe angat. Dengan piring kecil di atasnya. "Niki, Mbak. Spesial buat Mbak Tari. Lekas diminum, Mbak. Mumpung masih panas." tawarmya riang. "Uwaaa...sippp, Pak! hmmm...baunya enak," sambutku dengan sumringah. "Tapi nanti aja, Pak. Masih panas. Takut kepanasan. hehehe" sambungku. "Ya enak masih panas toh, Mbak. Anget di tenggorokan. Yauda, Saya mandi dulu, Mbak" ujarnya.

Sepeninggal Pria Paruh Baya itu, aku melanjutkan pekerjaanku. Menyiapkan flashdisk dan atribut penunjang kerjaku lainnya. Sesekali ku lirik cangkir coklat di sebelahku. Penasaran sekali dengan rasanya, tadi Pria Paruh Baya itu sempat menunjukkan bungkus kemasannya. Sekilas ku baca ada campuran krimernya. Aih, jadi makin penasaran. Ku raih cangkir itu, ku tiup beberapa kali di atasnya. Ku dekatkan ke mulut, sembari sesekali mencium aromanya. Nikmat sekali, ingin rasanya ku seruput.tapi lidah terasa kelu. Ada ketakutan muncul disana. Ketakutan akan rasa panas yang membakar di ujung lidah. Ku urungkan. Sekali lagi kucoba untuk menyeruputnya, tetap sama. Rasa takut itu muncul. Rasa penasaranku rasanya tak berujung, tapi terkalahkan oleh rasa takut. 



Lima belas menit berikutnya...
Ku raih kembali cangkir itu, ku usap kulit luarnya. Ah, sudah hangat. Pikirku merayu. Kunikmati kembali aroma nikmat jahe anget ini. Tangan kanan memegang cangkir, bertumpu tangan kiri memegang piring kecil di bawahnya. Kali ini harus ku coba. Ku seruput perlahan. Berhasil. Ku nikmati multi rasa di dalamnya. Pedas jahe dikombinasi dengan gurihnya krimer, dibalut dalam air yang menghangat. Nikmatnya... ku seruput kembali untuk kesekian kalinya. Rasanya enggan untuk meminumnya dalam jangka waktu panjang. 

Pikiranku terfokus pada setiap sensasi yang terjadi di dalam mulutku. Rasanya sama seperti pertama kali menikmatinya. Lidahku sudah mulai terbiasa, tapi tetap tak rela melepasnya. Kunikmati dengan mata terpejam. 

Tanpa sadar, otakku seakan menyentil untuk mengembangkan rasa. Rasa-rasanya seperti kehidupan. Terkadang kita terlalu takut untuk memulai hal baru, yang sebetulnya kita tahu bahwa itu baik. Tapi, pikiran negatif seringkali lebih kuat untuk menunda hal baik tersebut. Ketika kita mulai mencoba memasukinya, ada sensasi hebat saat pertama kali merasakannya. Sama seperti hidup, saat pertama mencoba mungkin kita akan bertemu dengan berbagai karakter orang-orang baru, tempat baru, suasana baru yang semuanya menuntut kita untuk bisa beradaptasi dengan mereka. 

Seruputan kedua dan seterusnya menjelaskan bahwa kita sudah merasa enjoy akan susana baru. Seringkali, kecocokan dengan orang atau tempat tertentu membuat kita setia mengulanginya meski sebetulnya mereka tak menjanjikan suasana baru yang lebih baik.

Di ujung seruputan, lekas-lekas kuhabiskan dan ku telan dengan anggun. Suatu saat, pertemuan dengan orang dan tempat yang sama ditambah suasana yang sama pula, akan membawa kita pada titik kejenuhan. Sehingga tak jarang kita akan mudah berpaling pada komunitas lain untuk mencari suasana baru  lagi.

Ah, apapun itu. Aku masih menikmati tetesan wedang jahe anget ini. Tak akan ku tolak jika pria Paruh Baya itu menawariku kembali. 



****
[1] Sampun : Sudah dalam bahasa Jawa
[2] Wedang : Minuman hangat, bahasa Jawa
[3] Tacik : Panggilan untuk perempuan Tionghoa yang lebih tua.

*Tulisan ini dibuat untuk belajar nulis lebih baik, terinspirasi dari blog  Mas Jul :D

Rabu, 13 November 2013

Monolog Jiwa

Tak bernyawa
Mati

Mungkin itu kata yang pantas untuk jiwa dan ragaku. Ketika semua anak seusiaku sudah menemukan gairah dan tujuan dalam hidupnya, aku disini terantai seonggok kemalasan. Boleh jadi aku hanya gadis pemimpi yang sangat buruk. Pemimpi. Hanya pemimpi. Berujung omong kosong dan nol besar. Aku tahu, ini tak bagus untuk dibiarkan berlarut.

Ketika aku berdoa pada Tuhan untuk dikirimkan malaikat penolong, aku tak berharap timbul rasa lebih dari teman disana. Aku selalu berdoa agar dipertemukan dengan orang-orang yang mampu menyeretku pada gairah level teratas.

Gairahku pada tulisan. Aku seorang gadis penghayal dengan milyaran hayalan konyol yang dengan begitu saja menguap ketika hendak diwujudkan aksara.

Gairahku pada agamaku. Berharap ada perbaikan akhlak. Mendewasakan diri, agar tidak larut dalam kecewa setelah berucap yang menyakitkan.

Allah Maha Baik.
Itu pasti. Dan kini, aku menunggu kebaikan-Nya kembali…

Daun Jatuh Tak Berteguh

Aku bagai daun jatuh yang mudah tertiup angin.
Aku mudah terbang dan berlalu begitu saja.
Tanpa ke-istiqomahan

Aku daun jatuh yang tak bernyawa
Mudah terombang-ambing
Mudah tertarik pada sesuatu,
Juga mudah menguap begitu saja.

Aku daun jatuh
Yang berlalu sendiri
Tak berkawan damai meski dengan diri sendiri

Aku daun jatuh
Yang mencari peruntungan dengan mencoba segala hal
Memiliki ratusan rencana yang berakhir omong kosong

Aku daun jatuh
Yang tak mampu menjaga lingkungan tempatku berteduh
Menyendiri, merasa kecil bagai tak bertuhan

Aku daun jatuh, yang tak berteguh…

Buku Antologi Pertamaku


SURAT KECIL UNTUK NEGERIKU
Oleh : Rahayu Lestary

Dear Indonesia,
Apa kabarmu?
Masih hijaukah hamparan tanahmu?
Masih ramahkah angin bumimu?
Masih merdukah suara gemericik pantaimu?
Masih bersahajakah langitmu?

Aku harap semua tetap seindah kisahmu dalam buku sejarah yang pernah ku baca.
Perkenalkan, aku Tari, ya kau bisa memanggilku dengan nama itu. Anak ingusan yang belum bisa memberi kebanggaan untukmu.

Indonesiaku, aku tahu ada beberapa kabar tentangmu yang sering ku dengar dan ku lihat dari televisi. Tentang bumimu, tentang manusiamu. Aku juga melihat ada banyak manusia yang mengumpatmu, mencemoohmu, memakimu, hingga membencimu. Mereka, yang mengaku sebagai "RAKYAT"mu sendiri yang bersikap seperti itu. Indonesia, mungkin jika engkau berwujud seorang ibu, tak akan ada lagi air mata yang keluar karena terlalu sering engkau menangis.

Seharusnya, bukan kau yang disalahkan. Indonesia, bukankah itu hanya nama suatu negara? Kau bukan berwujud manusia. Seharusnya, yang patut disalahkan bukanlah engkau, tapi manusia-manusia itu. Bukan juga pemerintah atau pejabat teras, karena manusia-manusia itu juga kan yang memilih mereka? Kamilah yang seharusnya disalahkan.

Kalau sekarang korupsi merajalela, siapa lagi yang disalahkan? Apakah engkau lagi Indonsia?
Tidak, kamilah yang sepantasnya disalahkan. Seringkali hal-hal sepele kami anggap wajar. Sogok-menyogok misalnya, dengan alih-alih agar segera beres, maka kita mewajarkannya.

Indonesia, banyak sekali manusia yang mencemoohmu. Berbagai lontaran dan protes yang divisualisasikan dengan berbagai aksi kerap ditunjukkan. Bukankah engkau, Indonesia tidak hanya milik pemerintah saja? Bukan juga milik beberapa orang. Tapi, kami, yang mengaku sebagai "RAKYAT" Indonesialah yang memilikimu.

Indonesia, jika engkau bertanya, malukah aku memilikimu?
Ku jawab,TIDAK. Aku bangga padamu. Aku bangga memilikimu.
Aku tidak malu berwarga Negara Indonesia...

Biar saja banyak orang yang membencimu, menghujatmu, memakimu, mencemoohmu melecehkanmu. Biar saja.. itu tidak mengurangi rasa cintaku. Biar saja mereka memanggilmu dengan panggilan yang jelek, biar saja!

Mengapa mereka, manusia-manusia yang membencimu itu tidak pergi saja? kenapa masih menggunakan produk-produk Indonesia? Mengapa masih mengibarkan bendera merah putih? Mengapa masih serakah meraup rejeki di tanahmu? Tidak adil rasanya. Sungguh.

Aku bangga berpijak bumimu. Negara yang kaya raya dengan banyak pulau, beragam suku, beragam budaya, beragam makanan dan beragam bahasa. Kepakkan sayapmu wahai Garuda, terbang dan tinggilah meluas cakrawalamu.

Aku yakin, dari sekian banyak yang membencimu, masih ada sisa-sisa manusia yang mencintaimu. Biarlah kami, bagian dari manusia yang tersisa itu yang akan menemani dan menghapus dukamu dengan semangat nasionalisme dan janji memerdekakan diri. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan.

Indonesiaku, maafkan kami, ijinkanlah kami membuktikan cinta dengan berada pada barisan manusia yang tersisa. Mungkin tidak banyak yang bisa kami beri, tapi percayalah kami bukanlah debu yang bila tertiup angin akan menutup keindahanmu.

Indonesiaku, selamat ulang tahun ke-68 ya,
Salam Sayang, aku yang merindukanmu, Tari.

Juara II Lomba Menulis Untuk Indonesia oleh Rasibook

Gie - Puisi Cahaya Bulan

Sumpah.
Aku jatuh cinta sejak pertama mendengarnya...


Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu...
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi...
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu...
Saat kudekap kau dekaplah lebih mesra...
Lebih dekat...
Apakah kau masih akan berkata...
Kudengar detak jantungmu

Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam Cinta...
-------------------

Cahaya Bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu
Dimana jawaban itu

Bagai letusan berapi
Bangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban... kegelisahan hati






Memori Dalam Gendul

Kau punya kenangan? 
Aku harap punya. Dan pasti punya. 
Aku juga punya. Banyak malah, lebih dari satu.

Apa kau masih hidup dengan kenanganmu?
Kenangan indah atau bahkan kenangan bodoh yang ingin kau skip begitu saja? 

Kenangan itu kegilaan yang membentuk kita saat ini.
Kenangan bisa muncul dari banyak kejadian sepele tak terduga. Aku menikmati setiap tetesan hujan, meski sebetulnya tidak suka hujan. Apalagi ketika sedang berkendara. 

Bagiku, hujan adalah rangkain sengatan kenangan yang mengalir begitu saja. Terkadang sengatannya tinggi, terkadang juga rendah. Hujan mengingatkan hal bodoh beberapa tahun lalu, ketika dengan sengaja berhujan-hujan ria di danau dekat rumahku. Bukan danau, lebih tepatnya waduk pengolahan limbah industri. Tapi biarlah ku sebut dengan danau cinta. Ah, bodoh lagi kan? 

Jangan pernah membayangkan aku main hujan dengan  kejar-kejaran berebut pancuran hujan dari pipa air dari atap rumah. Aku hanya diam, menikmati tetesan hujan di ujung jilbabku. Sesekali mengelap lensa kacamata berembun yang sebetulnya sia-sia saja membersihkan, karena hanya memperburuk pandangan. Ya, aku hanya terdiam. 

Aku menikmati setiap tetes dengan pemandangan kabut putih hujan deras. Ditemani dengan pemancing berkerudung mantel hijau doreng yang tak ada niat sedikitpun memancing. Aku tahu karena setiap ada ikan yang tertangkap kail, pria itu akan melepaskan kembali. Sesekali melemparkan pada kucing di seberang.

Kenangan macam apa ini? Tak bermutu. 
Tak membuatku sedih. Aku bersyukur Tuhan begitu baik mengunci hati dari kesedihan bodoh. Entah betapa dewasanya aku hingga aku bisa menyalahkan diri sendiri atas kejadian masa lalu. Tuduhan atas kebodohan masa remaja. Ah, setidaknya lebih baik daripada berlarut menjangkaunya.

Kenangan tak bisa dilupakan, tapi sesekali boleh dikenang. Agar kita bisa menertawakan sandiwara hidup masa lalu. Pengalaman cinta masa remaja. Sebentar, aku ingin tertawa. Kini, aku tak sedikitpun mengharapnya kembali. Hanya gadis bodoh yang mau dan bertahan di kenangan masa itu. Hei, Itu artinya aku pernah jadi gadis bodoh. 

Memori Dalam Gendul

Apa kau punya gendul?
Eh, tahu tidak apa itu gendul? 
Kalau Jawa tulen pasti tahu apa itu gendul. Sini biar kuberi tahu, kata almarhumah nenekku dulu, gendul dalam bahasa Indonesia artinya botol. Nah, tahu botol kan? Ya, betul. Pinter.

Bicara tentang gendul, berarti bicara tentang wadah untuk menyimpn cairan. Entah cairan yang bisa dikonsumsi ataupun bahan kimia. Lalu korelasinya apa? Berbelit-belit. Bagiku, kenangan itu seperti cairan. Kita punya pilihan untuk menyimpan dan meletakkannya dimanapun. Aku sendiri lebih suka menyimpannya dalam gendul yang bisa kututup rapat dan melemparnya jauh ke laut lepas kehidupan. 

Suatu ketika, ombak bisa membawa ke tepi laut lalu meninggalkannya di pasir putih pantai. Itulah kenapa aku masih suka menemukannya. Tapi setelahnya langsung kututup kembali rapat-rapat. Kali ini ku tambahkan plastik di ujung kepala botol sebelum kupasangkan topi di atasnya.

Itulah, mengapa kita diminta mengingat Tuhan, karena dengan mengingat-Nya kebaikan pun mengikuti. Tidak seperti laut, pantai, tanah, awan, pelangi atau hujan, yang mengingatkan pada kenangan. 

Aku orangnya penakut. Lebih takut lagi ketika dihantui masa lalu. 

Rabu, 25 September 2013

Ada Kanan Ada Kiri

Manusia dalam perjalanannya untuk sampai ke bumi, begitu lekat dan jelas tertulis dalam Al Qur'an. Hakekat manusia diturunkan ke bumi pun juga jelas. Selalu ada pertanyaan, buat apa sih kita di bumi? Kalau manusia dianggap sebagai perusak, lalu mengapa diciptakan manusia? Rentetan pertanyaan pun akan terus berlanjut.

Bagiku, manusia tidak berbeda dengan panggung sandiwara. Hanya ada sedikit perbedaan, jika dalam panggung sandiwara mereka berakting harus sesuai dengan sinopsis, maka dalam sandiwara kehidupan, Allah memberikan sedikit kebebasan pada manusia untuk memilih. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa manusia itu sendiri yang merubahnya?

Mungkin dalam catatan Allah kita ditakdirkan sebagai orang yang miskin atau bodoh. Tapi sudah sunatullah bahwa dimana setiap ada usaha, selalu ada jalan. Orang Jawa bilang Gusti Allah pireng, Gusti Allah pirsa, lan Gusti Allah mboten sareh yang di-Indonesiakan menjadi Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat dan Allah juga tidak tidur. 

Banyak motivasi yang muncul untuk memberikan semangat bahwa di luar sana ada lulusan SMA yang menjadi direktur ataupun orang berpendidikan di bawahnya bisa memiliki omzet Milyaran sampai Triliyunan. Ketika ditelusuri, selain mereka berkemauan keras dan perjuangan yang gigih, ternyata ada attitude baik yang dibangun sehingga Allah pun mempercayakannya untuk dapat memimpin para sarjana bekerja dalam perusahaannya. 

Mengapa ada kanan ada kiri? 
Selalu ada pilihan yang baik dan buruk. Anggaplah itu sisi kanan (kebaikan) dan sisi kiri (keburukan). Malaikat ditempatkan di sisi kanan kiri pundak kita memiliki tugas masing-masing. Kita diberi tangan kanan dan kiri, akan lebih sopan memberikan dengan tangan kanan. Makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Itulah mengapa orang bilang bahwa everything is choice. Dimanapun kita berada, pasti ada dua pilihan. Ketika pulang kuliah, kita punya pilihan untuk langsung pulang atau pergi hang out dengan teman. Begitu juga ketika kita menunggu, kita punya pilihan untuk membaca atau mengobrol dengan orang. Sudah tentu dua hal tersebut memiliki dampak positif dan negatif.

Sebagai anak muda pun, kita memiliki banyak pilihan dan pertanyaan atas rasa ingin tahu. Seringkali kita jadi pasukan bebek yang suka mengekor dunia entertaint. Mulai dari fashion sampai life style. Teman yang saya temui pun beragam. Ada yang benar-benar hidup untuk dunia, ada yang hidup untuk bekal akhirat, dan ada juga yang berusaha menyeimbangkan keduanya. 

Agama tidak membatasi ruang lingkup pertemanan, tapi kita harus pandai menentukan mana yang bisa dijadikan teman dan sahabat. Islam juga mengatur agar kita tidak banyak mengeluh dan menceritakan kesusahan atau keburukan kepada orang lain kecuali untuk berkonsultasi dalam memperoleh pencerahan. Bukankah Allah sudah menutup aibmu? 

Setiap orang di dunia ini berlomba-lomba ingin bisa menjadi kaya. Apa kaya menjadi salah satu dalam daftar tujuan hidup kamu? Ya.Begitu juga saya.

Terkadang kalau sedang merenung, saya berpikir mau ngapain sih kalau sudah kaya nanti?
Mau makan enak di restoran mewah? Mau pergi ke luar negeri kaya keluar masuk rumah? Mau pakai baju mahal? Mau pakai mobil mewah? Mau punya gadget yang selalu up to date? atau mau punya rumah bertingkat 10? 

Sejatinya, kaya itu keadaan bebas dari segala tekanan dan kondisi pikiran yang luar biasa sehat. Kenyataannya, perut kita hanya akan menampung berapa kalori makanan saja meski yang kita masukkan adalah makanan mahal dan bervariasi. Bahkan sering kali kita tidak menghabiskan makanan yang kita beli dengan harga ratusan ribu, sedangkan di luar sana uang 100.000 bisa untuk makan orang 10? Saya sendiri terheran-heran dengan orang-orang yang dengan mudah mengeluarkan uangnya untuk membeli makanan yang sebetulnya kalau masak sendiri atau beli di warung rumahan bisa jauh lebih murah. Saya pribadi, masih suka berpikir berkali-kali untuk sekedar makan di warung yang agak "wah" dengan sajian makanan yang sering dimasakkan oleh ibu di rumah. Terlalu sayang bagi saya untuk membayar tahu crispy seharga 15.000. Mungkin Ibu saya akan berteriak gaduh kalau tahu saya nekat membelinya. 

Sama halnya dengan memakai baju atau jam tangan mahal. Fungsinya tak ada bedanya. Apakah ada jaminan bahwa jam mahal akan menunjukkan jarum waktu yang berbeda dengan jam yang dijual di lapak pinggir jalan? Kalau kita bisa membeli baju murah tetapi selalu rapi dan menyisihkan sisanya untuk disedekahkan, bukankah lebih baik begitu?

Dengan berduit kita bisa pergi ke luar negeri sesuka kita. Ya. Betul. Terus ngapain? Mencari kebahagiaan dengan pergi meninggalkan masalah itu bukan suatu solusi, terkadang ketika sedang mempunyai beban kita tidak akan bisa menikmati keindahan meski kita di tempat ramai dan indah sekalipun karena kita terfokus pada satu titik masalah itu.

Mungkin sekali-kali, bolelah kita memanjakan diri menikmati makanan mahal, baju mahal atau barang-barang mahal lainnya. Akan tetapi, alangkah baiknya bila kita menimbang terlebih dahulu manfaat dan tujuannya. Kalau dirasa kita tidak membutuhkannya, lebih baik jangan dibeli. Sekali-sekali jangan menuruti ego untuk membeli gadget pendukung gaya hidup hedonis. Seringkali, kita memberatkan orang tua dengan merengek gadget baru sehingga beliau harus rela berhutang untuk sekedar bisa membelikan kamera atau handphone canggih.

Saya tidak menyoroti mereka yang memang diberi kelebihan rejeki, saya juga tidak membenci orang kaya karena seperti yang saya bilang tadi, kaya ada dalam salah satu daftar tujuan hidup saya. Segala hal yang berlebihan selalu tidak baik jadinya. Maka, sebelum saya kaya, izinkan saya untuk menata diri. Berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya serta berpandai-pandai menentukan pilihan. Bukankah segala yang kita terima dan kita keluarkan akan dimintai pertanggungjawaban nanti? Allahu a'lam bis-shawaab.


Jumat, 13 September 2013

Cinderella Cebol

Duduk disini, di kursi yang sama dan dengan komputer yang sama pula. Di usia yang memasuki 22, dengan emosi dan semangat yang meluap-luap seringkali memaksa untuk bertindak dan bertingkah yang berlebihan. Kepadatan emosi dan kelabilan berfikir, masih mengikat hati dan kaki untuk bisa berfikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Setelahnya, mungkin hanya bisa terdiam dan menghela nafas dalam sesal.

Tidak dibenarkan memaksa orang lain untuk ikut dan mau memahami apa yang kita maksud. Kalau sudah begitu, hanya kekalutan yang berselimut dan disusul dengan buliran air mata. Berteriak. Pada siapa? Pada angin? Sayangnya aku tidak tinggal di hutan, bahkan jauh dari hutan atau pantai. Mau ke pantai pun tidak punya cukup keberanian, karena banyak orang yang berwisata disana.

Sudah berapa malam merasa seperti ini? dan sampai kapan?
Berteriak juga tidak akan dihiraukan. Mungkin hanya ada sedikit balasan kaku yang diterima. Segumpal hati sudah diselimuti kelu, bercampur dengan cairan kental bernama ego, diaduk dalam adonan kegusaran. Tak terbendung, kapan benang-benang ini akan terurai? Aku tak tahu.

Tidak semua gadis bernasib sebaik Cinderella.
Mungkin, hanya temanku yang berteriak dalam tawa, hai Cinderella Cebol. Argghhh..dasar!
Biar ku ulang, tidak semua gadis bernasib sebaik Cinderella. Dimana dengan kebaikan seorang peri dia bisa bertemu dengan pangeran impiannya. Sekali lagi ku katakan, tidak semua gadis bernasib sebaik Cinderella.

Kenyataannya, aku bukan Cinderella. Aku tak hidup dengan ibu tiri yang sangat kejam, tak memiliki dua orang kakak tiri yang angkuh, juga tak sempat berkenalan dengan ibu peri yang baik hati.

Ya, saya bukan Cinderella. 

Rabu, 14 Agustus 2013

Alhamdulillah

Assalamu`alaikum...

Sekedar mau berbagi informasi dan berbagi kebahagiaan. Mungkin terkesan sangat expired  infonya, karena memang sudah lama. Sempat galau mau posting tulisan ini atau tidak. Tapi berita baik kan harus dibagikan sebagai salah satu visualisasi rasa syukur kan?

Pada 2 Agustus lalu, setelah sholat isya iseng-iseng ngecek email. Ada inbox seperti ini :

dari email

Masih belum percaya, dengan penuh muka kepo saya buka websitenya burufly.com, dan hasilnya seperti ini :

dari website burufly.com

Alhamdulillah, ternyata memang betul juara minggu ketiga. Awalnya sempat pesimis karena banyak yang salah persepsi cara nge-vote nya. Harusnya vote di websitenya burufly, tapi malah nge-like di blog. But, makasih untuk kesediaan waktunya untuk mencoba ya teman. Ini kompetisi menulis pertama yang saya ikuti, dan hasilnya alhamdulillah, ada yang mau dengan ikhlas mengapresiasi tulisan anak ingusan ini. Semoga, ini bisa memacu untukku bisa menulis lebih baik dan lebih "berisi" lagi. Amin.