Rabu, 23 Januari 2013

Kembalikan Sinaran yang Hilang

Malam ini aku tak sedang menangis, juga tak sedang mengeluh. Nikmat Allah apa lagi yang harus ku keluhkan?
Tertunduk, menemani ibuku yang tidur pulas mendengkur. Menahan rasa sakitnya. Ibuku, penderita diabetes sejak 5 tahun ini. Harus bersahabat baik dengan obat-obatan yang tak mau ditinggal barang sejenak.

Bapakku yang selalu setia menemani Ibu, meskipun sering kali beradu mulut karena Ibuku sering bandel. Aku tahu, Bapak adalah sosok suami yang sangat mencintai istrinya. Terlepas dengan semua masa lalu, Bapak tetap yang terhebat. Ibuku juga. Diusianya yang sudah kian bertambah, tak menyurutkan  tekadnya untuk tidak meminta pada anak-anaknya. Aku salut sekaligus sedih. Pesan yang selalu ku ingat, "Bapak nda butuh uangmu, Bapak bisa cari sendiri. Cukup lihat kamu sukses saja sudah bahagia buat Bapak"

Ibuku pernah bercerita, malam itu saat penyakit ibuku kambuh, Bapak pernah menangis di depan Ibu. Bapak berkata untuk tidak mau ditinggal Ibu. Menangis aku mendengarnya. Ibu selalu berkata padaku, hidupku cuma buat kamu, Nak. Ibu nanti mau ikut kamu, tinggal di rumahmu, berkumpul dengan anak dan suamimu. Aku, hanya bisa diam, meneteskan air mata dan mengamini ucapannya.
Ibu,,itu juga yang aku mau. Jangan banyak pikiran ya,? Biar bisa sehat selalu.

Ah,,aku selalu cengeng dengan hal yang berkaitan dengan Bapak dan Ibuku.
Ya Rabb..aku hanya liliput kecilmu.
Tak berdaya aku tanpa-Mu
Ya Rabb..
Jika aku masih diberi kesempatan, ijinkan aku untuk bisa menemaninya.
Membagi kebahagiaan dengan mereka.
Beri kesembuhan, kesehatan serta umur panjang ya Rabb..
Lepaskan semua simpul pilu, simpul yang membelenggu.
Lepaskan semua bebannya, lapangkan dadanya, berilah setetes kelembuta.
Jangan hapus senyumnya, hapuslah saja air matanya.
Jangan hapus kebahagiaannya, hapuslah saja bebannya.
Ya Rabb..
Luruhkan setiap dosanya dengan sakit yang Kau beri, ikhlaskan hatinya untuk menerima semua.
Kembalikan sinaran yang hilang dengan senyum kesembuhan.

Amin ya rabbal alamin




Senin, 21 Januari 2013

Aku Sayang...

Hari-hari yang menyeruak masuk,
Memaksamu untuk tetap bertahan
Tulang yang kian rapuh
Kulit yang kian keriput
Hembusan nafas yang kian melambat

Hari-hari yang indah takkan lalu begitu saja,
Saat kau menangis, salju ternyata hujan
Dan hujan menjadi air mata di wajahmu

Ku kutuk waktu
Yang tak mau berhenti barang sejenak
Merayunya untuk memberi sejenak waktu menemaninya
Dia yang begitu angkuh, merasa berkuasa atas kepastian.
Dia yang pasti di atas yang pasti

Tidak.
Engkau tetap malaikatku
Bagaimanapun kau terkalahkan oleh waktu,
Aku tetap mengenalmu sebagai malaikat tak bersayapku
Sosok yang menemaniku
Menasihatiku dalam diam,
Yang tak pernah sekalipun kau cubit aku dengan tanganmu
Tak sekalipun kau pukul aku dengan katamu

Engkau begitu teduh
Begitu kuat,
Ah, andai bisa ku temani kau setiap hari.



#Aku tau, catatan kecil ini takkan pernah terbaca olehmu. Kekagumanku, sering kali tak tersampaikan dengan baik. Terkesan aku seorang anak yang menybalkan, yang tak peduli dengan rumah.
Tidak. Bukan begitu. Aku selalu berusaha membahagiakanmu dengan caraku. Hanya cara sederhana yang bisa kuberi.

Menangis aku, setiap pulang, dengan senyum tulus Bapak menyambutku. Selarut apa pun itu. Terkadang rela keluar rumah sekedar membelikan makan untukku. Betapa jahatnya aku.
Gelayutan manjaku selalu ditanggapinya dengan serius. Aku malu. Sungguh malu.

Ya Rabb.. aku percaya Engkau selalu adil terhadap semua makhluk-Mu.
Maafkan, jika selama ini masih kekanak-kanakkan.
Mimpiku, tujuanku, usahaku hanya untuk mereka.
Teruntuk engkau, malaikat tak bersayapku.. I Love You




Rabu, 16 Januari 2013

Di Bawah Langit-Langit Kamar

Pertama-tama ijinkan aku untuk bertanya padamu, kawan..
Sudah banggakah kau sebagai wanita?
Sudah berarti kah kau sebagai wanita?
Baiklah, akan kuberitahu bagaimana jawabanku.

Sejauh ini, aku bangga menjadi seorang wanita. Meskipun sampai usiaku yang telah memasuki kepala dua ini terkadang aku masih bingung atas sikap atau karakter apa yang harus ku pilih dan ku perankan? Bagiku, manusia itu tak beda dengan seorang seniman akting. Kelak, di akhir jaman akan diputarkan kembali film kita.

Proses pencarian jati diri itu tak mudah dan tak sesingkat yang kita bayangkan. Pernah, suatu kali aku bertanya pada teman kerjaku, usianya sudah masuk kepala empat. Mengapa emosiku masih belum stabil? Jawabnya sungguh mengejutkan, "Jangankan kamu, Dik. Aku yang sudah seusia ini pun masih suka tak terkontrol emosinya."

Banyak petuah klasik yang berkata, "Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan", "Dewasa itu Tak Dapat Diukur dengan Usia" dan petuah-petuah klasik lainnya.

Lalu, dewasa dalam arti seyogyanya itu yang seperti apa?
Merelakan sahabat demi seorang pacar? Apakah yang seperti ini bisa dikatakan dewasa?
Tidak. Dewasa itu tak berarti tua, dan tua juga tak berarti dewasa.

Dulu sekali, aku pernah mengutuk diriku betapa tidak enaknya menjadi seorang wanita. Wanita, tak bisa seleluasa seperti kaum adam untuk mengekspresikan perasaannya. Terikat dengan norma agama, adat istiadat, ataupun sosial. Sehingga wanita masih memiliki rasa malu untuk menyampaikan rasa cintanya. Hingga akhirnya, aku harus memeram rasa itu dalam diam. Mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, dan baru tersadar bahwa untaian itu menjulur ke arahnya. Tapi, aku tahu. Tak boleh aku begitu. Dia sudah menemukan dunianya, dunia yang lebih bersahabat dan mengerti tentangnya. Aku dan temaram senja selalu mendoakan kebahagiaanmu.

Berusaha menjadi wanita yang mandiri. Fokus dulu dengan kuliah, karier, keluarga, sosial. Terkadang, waktu 24 jam sehari kurasa tak cukup jika sudah beraktivitas. Sampai-sampai aku merasa berdosa pada bapak ibu ku. Waktuku banyak tersita dengan kesibukan di luar. Terima kasih, Allah masih mengingatkanku dengan kasih sayang. Dia mengirimkan seseorang untuk mengetuk hatiku agar lebih mendahulukan keluarga.

Kita yang masih diberi kesempatan untuk menjaga bapak ibu. Jangan sampai menyesal, bersosialisasi boleh kawan, tapi selalu utamakan keluarga. Terkadang orang tua tak mengharapkan kucuran uang atas keringatmu. Tapi hanya sedikit meluangkan waktu untuk sekedar bercengkerama mendengarkan keluh kesahnya, itu sudah lebih dari cukup bagi mereka. Jadilah anak yang dekat dengan orang tua. Agar orang tua kita yakin dan memiliki semangat untuk tetap berjuang memapankan anak-anaknya melalui barisan doanya.

Teruntuk ibuku tersayang..Wanita terhebat yang pernah ku kenal.
Semoga lekas sembuh, Bu. Aku sayang padamu...

Jumat, 11 Januari 2013

Sungguh, Aku Harus Membencimu..

Di ujung gerimis ini aku hanya bisa menatapmu tanpa gairah.
Aku tahu, kini kau mulai membenciku. Tak seharusnya aku bersikap demikian padamu. Senja yang tak kunjung datang, berharap menjemputku dengan impian baru. Aku yang kini bukanlah aku yang kau kenal dulu.

Hari-hari indah, kenangan, aroma itu, rasa itu,, tak akan hilang semudah air laut yang menghapus jejak kaki di pasirnya. Sungguh, aku masih merindukan saat-saat itu. Kebersamaan kita, yang terbalut dengan manisnya madu, membuatku merasa kerdil karena terhempas olehmu.

Kamu yang dulu selalu mengisi rongga waktu dalam tiap detik hidupku,, Maaf..Aku harus meninggalkanmu. Bukan tanpa alasan, bukan karena aku tak cinta, bukan pula karena kau tak seindah dulu. Sungguh, bukan itu..

Aku akan merindukan guratan senyum yang selalu terlukis di wajahmu tat kala aku datang menghampirimu. Kau selalu menyambutku dengan ceria, tanpa banyak ucap kata. Kau selalu bisa membuatku kembali bergairah. Keringat yang ku teteskan, air muka merah padam, lidah yang terbakar. Sungguh satu sensasi hebat yang tak bisa kudapatkan dari partikel apapun di dunia ini selain darimu.

Tapi kini, aku merasa lain denganmu..
Aku yang merasa beda, kau telah merundungku dengan gempuran kesakitan dalam beberapa hari ini. Kesakitan yang membuatku jengah untuk menatap dan menemuimu kembali. 

Kian lama, aku semakin tersadar,, kau bukan untukku. Kau bukan yang terbaik untukku. Kau hanya bisa melukis luka, tak seperti janjimu. Ingatkah kau, kita pernah berikrar untuk melukis pelangi bersama?
Ah, engkau pasti ingat. Sangat ingat.

Tapi sungguh, kini aku harus benar-benar membencimu...
Aku takut semakin sakit..
Ingatlah, sejak siang teduh ini, aku berjanji untuk tak menjamahmu. Sekecil apapun itu.

Sungguh, Aku harus membencimu..Cabai. 
Huehehee,,
Ingat. Sejak hari ini, saya nobatkan 12 Januari sebagai Hari Bebas Cabai. 
Go..Go..!!
Anti cabai...!!





Minggu, 06 Januari 2013

Jiwa Heroikku Sedikit Bergetar

derrrrttt...derrrrttt...
"Mbak, besok jangan lupa kumpul di SMK jam 6 ya.."
satu pesan singkat dari Rio.

"OK Siap laksanakan!"

derrrrrttt....derrrrrttt....
"Tangi..tangi..Ayo Budhal..."
derrrrrttt...derrrrrtttt...
"mbak, dimana?"
derrrrrrrttt....derrrrrttt....
derrrrrtttt....derrrrrt....derrrrrtttt....derrrrtttt....derrrrrttt....

"aku baru bangunnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn >_<"
@06.35 a.m

derrrrttttt...derrrrrtttt....
"edan..tas tangi?!!"

GLEK!!
Begitulah. Pagi ini, berharap bisa keliling kota Surabaya dengan menghirup sejuknya udara pagi, harus gagal karena bangun "sedikit" telat.

Segera saja ku raih handukku, tanpa sempat menoleh pada cermin bagaimana bentuk mukaku, apa ada guratan peta atau tidak.
Bimbang.
Bersih-bersih tapi telat banyak atau langsung mandi dengan hati was-was digetok sendok saat pulang nanti.
Baiklah, dengan segenap pertimbangan dan ketakutan dikutuk laksana Malinkundang, aku bersihkan rumah. Cukup mencuci piring dan menyapu singkat yang lalat pun akan berjoget bahagia melihat terombang-ambingnya isi rumah.

Kemudian, aku mandi super cepat. Itu pun lupa handukku dimana.
Dasar bodoh.
Berpakaian dan berdandan super cepat tak kalah cepat saat aku mandi. Berpatut di depan cermin, tersenyum bangga karena wajahku masih awet.
Yes. Cermin pun menjulurkan lidahnya, mungkin dia sudah bosan hanya melihat diriku di dalam bayangannya. Ah, masa bodoh. 

derrrrrttt..derrrttt..
"Tar, udah berangkat?"
"..."
SIM 1 Incoming call : derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..
SIM 1 Incoming call : derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..
SIM 1 Incoming call : derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..
SIM 2 Incoming call : derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..
SIM 2 Incoming call : derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..derrrrrttt..derrrttt..

Mengeluarkan kudaku tanpa pemanasan sebelumnya, memacu kencang seperti sopir bemo yang nahan pipis. Mungkin jika diartikan, motorku sudah mengerang dan mengutukku dengan umpatan-umpatan tak senonoh.

Sekonyong-konyong tak ku pedulikan, maaf..

Baru sadar, aku tidak tahu jalan!
Haha..dasar bodoh.
Sudahlah, dengan keyakinan yang diyakin-yakinkan..ku pacu kudaku tetap tanpa berpegang teguh pada peri kemotoran. Tetap bershalawat nabi tiada henti, pandangan yang tetap awas memperhatikan papan hijau di jalan. Akhirnya, sampai juga dengan selamat di lokasi. Huft..Alhamdulillah..

Ku parkirkan motor dengan anggun, dengan penuh kebanggan diri. Andai tak ada orang, mungkin aku sudah bersujud syukur disana.
Melepas jaket dengan penuh kebanggan, terasa angin yang berhembus, laksana syuting sinetron Inikah Rasanya.
Kucing pun mungkin langsung muntaber melihat ekspresiku.

Cek handphone. 
SIM 1 : 5 Missed Calls
SIM 2 : 6 Missed Calls

"Meti..dimana? Aku sudah di kantor pos"

derrrrt...derrrttt...
"Masuk aja, aku uda di dalem"


"Di sebelah mana? Aku tak tahu arah, Met.. "

derrrtttt...derrrtttt...
"Masuk aja, tau pintu masuknya kah? kalau tak tahu kamu tanya saja orang di sebelahmu.."

"Dasar Meti bodoh -_-"

Ku lanjutkan perjalananku dengan hati girang, tak tahan dengan godaan pedagang di sekitar maka ku putuskan untuk membeli 4 tusuk klanting. Yup, selagi mencari rombongan karnaval aku bisa mengganjal perut. Berjalan tanpa dosa dengan mengunyah klanting tusuk demi tusuk.Entahlah, aku selalu memiliki sensasi  tersendiri saat jalan sendiri di tengah keramaian. Menikmati pemandangan lalu lalang orang berjualan. Menikmati teriakan pedagang yang merayu penjual. Menikmati rasa apa adanya dari pedagang kaki lima.

Ada satu kalimat promosi lucu,
"Sandal jokowi..sandal jokowi..15 ribu" teriak salah seorang penjual

 Tak mau kalah, seorang penjul celana di sebelahnya pun menimpali
"Katok nom-nom an e jokowi,,Katok nom-nom an e jokowi,,"
"(celana masa muda jokowi..)"

HAHAHAAA.. spontan aku tertawa mendengarnya, sampai-sampai hampir lupa membedakan mana klanting dan kayu penusuknya.

Setelah bertanya kesana kemari tanpa membawa alamat, akhirnya kuinjakkan juga kakiku di pelataran retroik Tugu Pahlawan. Keren ya..aroma heroik mulai tercium. Benarkah tempat ini pernah menjadi saksi perjuangan bangsa beberapa tahun silam?
Dengan melihat beberapa renovasi sentuhan modern, terlihat kontras sekali. Mungkin selayaknya tempat ini yang dijadikan tempat upacara setiap tanggal 1 dan 17 setiap bulannya.
Kawasan Tugu Pahlawan memang mendukung suasana heroiknya, gedung-gedung di sekitarnya masih terjaga bentuk bangunannya, meskipun sudah mengalami beberapa renovasi di sana sini.

Nun jauh di tengah tugu, ku temukan rombongan karnavalku. Selanjutnya, masuk ke Museum. Dengan menegluarkan selembar uang 5ribu-an, pintu masuk sudah membukakan dirinya dengan senyuman sehangat ibu tiri. lha..??

Memasuki area museum, membuatku berimajinasi. Bagaimana jika aku kebelet pipis kemudian terkunci dan tak ada yang tahu bahwa aku di dalam?
Kemudian di tengah malam ada serdadu perang yang membukakan pintu dengan paksa kemudian menculik dan menjadikanku tawanan yang harus ditebus oleh Bung Tomo? Kemudian beritaku tersebar di seluruh radio Indonesia bahwa aku harus diselamatkan, demi kemajuan dan kehidupan yang lebih baik?

walah..walah..ngelantur!!

Tempat yang berkesan adalah ruang animasi, disitu diputarkan film-film dokumenter. Tempatnya selalu penuh, bahkan penonton rela berdiri dan duduk di lantai. Aku pun tak mau ketinggalan. Maksud hati ingin ikut menjiwai. Tapi apalah daya, tak secuil cuplikan film pun yang masuk di otak. Saya rasa, penonton-penonton lain yang duduk dengan sok anggun ini pun mengalami penyakit yang sama dengan saya, manggut-manggut sok paham isi film.

Pukul 9.30
Sudah lapar.
Setelah berdikusi cukup sengit, akhirnya kami melanjutkan perjalanan untuk mencari sarapan.
Pedagang kaki lima di sekitar trotoar masih menyuguhkan dagangannya dengan apik.
Deretan pedagang makanan membuat kami mengambil keputusan untuk menambatkan hati pada salah satu makanan disana.
Aku pilih soto daging. Meti dan Suci pilih Lontong Balap. Aulia, Rio dan Hamdih pilih Soto Ayam. Dini si Asri Welas pilih Sate Daging, 5 tusuk sate yang harus bersabar menyisihkan lemaknya.

"MBAK-MBAK..MAS-MAS.. WAKTU HABIS. 5 MENIT LAGI TROTOAR DAN SEKITAR JALAN RAYA HARUS DIBERSIHKAN. WAKTU HABIS." teriak salah seorang Satpol PP dengan megaphone jeleknya.

sekonyong-konyong Dini membalas, "Sudah biasa dirazia, Pak,,! Tidak takut"
Bocah gemblung..

pukul 10.00 kami harus berpisah. Jalan kami memang tak sama, tapi tujuan kita tetap sama. Pulang ke rumah masing-masing. Biar jauh, biar dekat bayar 3ribu. hehee

Menikmati perjalanan heroik di weekend ini sungguh syahdu tralala.
Semoga selalu ada renungan hikmah yang bisa diambil. ^_^