Senin, 20 Mei 2013

Saya Ikhlas, Yes !

Sabtu lalu, saya menjadi korban penipuan transfer uang melalui telpon seluler. Kalau berbicara gendam, saya rasa bukan gendam, karena saya masih sempat berpikir menggunakan logika. Menurut analisis saya, kemungkinan itu terjadi karena instruksi cepat dari si penipu, sehingga tidak memberikan waktu pada otak untuk memihak logika. Apalagi dalam kondisi pikiran kosong.

Masih di hari yang sama pula, salah seorang teman juga mengalami nasib yang sama. Alhamdulillah, Allah masih sayang dengan tidak memberikan celaka pada tubuhnya.

Ikhlas, satu kata yang memiliki beribu makna. Tergantung dari mana kita mendefinisikannya. Memang tidak cukup hanya mengenal katanya, tapi mengenai bagaimana pemaknaan dan pengamalan kita sehari-hari. Tanpa itu, kata tetaplah kata tanpa pengaruh yang berarti.

Dalam hal ini, saya akan membahas ikhlas dalam arti kehilangan. Pernah kehilangan sesuatu kan? Pasti pernah dong? Mungkin kehilangan barang kesayangan, uang, atau bahkan kehilangan sanak keluarga yang sangat disayangi. Sedih? Sudah pasti. Rasa penyesalan dan kehilangan lantas mengiringi kehilangan tersebut. Seberapa mampu kita untuk "legowo" menjadi tolak ukur tingkat keikhlasan dalam diri kita.

Tapi, bukan berarti orang yang tidak bersedih atas kehilangan itu dapat dikatakan ia sangat ikhlas. Perlu dipertanyakan apakah reaksi emosi tersebut normal atau tidak. Bisa jadi, setelah itu ia mengalami rasa tidak rela yang berkepanjangan.

Lalu, bagaimana kita menerapkan rasa ikhlas dalam hal ini?
Kalau boleh saya ibaratkan, kehilangan itu seperti tukang parkir. Sebelumnya harus kita pahami dulu bahwa apa yang kita punya ini bukan milik kita. Tanpa terkecuali tubuh kita, mata, tangan, kaki, hidung, telinga. Semua itu adalah milik Allah SWT. Jadi, seperti hal nya hukum pinjam meminjam, dimana kita harus rela mengembalikan saat si empunya mengambil.

Tukang parkir, ia dititipi mobil, motor atau sepeda. Dengan sabar dia menjaga, bahkan jika diperluka tanpa enggan dia merapihkannya. Sampai pada suatu saat, si empunya datang mengambil barangnya dan memberikan imbalan sejumlah uang pada si tukang parkir. Si tukang parkir lalu mengembalikan barang itu dengan rela tanpa nggrundel sedikitpun.

Sama hal nya dengan barang yang kita punya sekarang, saat ini kita memiliki banyak hal. Bahkan tidak sedikit diantaranya adalah barang yang sangat kita sayangi. Kita jaga, kita banggakan. Tapi, pada saatnya nanti kita juga harus rela melepasnya.

Kalau si tukang parkir hanya memperoleh imbalan uang sebesar Rp 1.000 atau Rp 5.000 saja, dan tanpa rasa penyesalan saat barang itu diambil. Sementara Allah, memberikan imbalan surga atas barang yang dititipkan kepada kita.Jadi, tak ada alasan untuk tidak rela atau timbul rasa menyesal yang berlebihan jika barang itu diambil oleh-Nya.

Teringat kembali, bulan lalu saya juga harus mengganti kas kantor karena ada selisih catatan dan fisik. Nominal yang cukup lumayan untuk ukuran saya. Introspeksi, sudah pasti, lalu mencari solusi yang terbaik. Pernah berpikir untuk menanyakan pada orang pinter saat kita kehilangan barang? Saya pernah. Haha. Salah seorang teman saya menasihati, mungkin sodaqohmu kurang, hmm mungkin. Tapi, bisa juga musibah. Kalau kita sudah tahu pelakunya, lalu kita mau apa? Mau melaporkan ke polisi? atau mau menghajarnya? jedug..jedug.. Tak pentinglah, yang ada nanti suudzan  atau bahkan malah kita yang disalahkan karena menuduh tanpa bukti. . Daripada berpikir dan menyalahkan orang lain, lebih baik introspeksi untuk diri sendiri kan?

Kalau kita bisa memaknai arti kehilangan, maka kita bisa menentukan sikap yang tepat. Menyadari tidak ada kekekalan di dunia ini karena semua pasti ada expired date nya.Sampai masa itu tiba, kita harus benar-benar menjaga titipan itu dengan baik, agar nanti Allah mengganti dengan imbalan kekekalan surga.

Sedih sih boleh, kecewa juga boleh. Mau nangis? silahkan. Tapi jangan lama-lama, percuma ditangisi, tak akan menyelesaikan masalah. Andai menangis bisa mengembalikan uang saya yang hialng, pasti saya sudah menangis sejadi-jadinya. hehehe

Sabar, Ikhlas, Insya Allah pasti ada gantinya. Yakin.
Yes, saya ikhlas!!! Yeahhh... !!! :-)

-SRSL-
                     

Jumat, 17 Mei 2013

Rumah Sakit Jiwaku

Berteriak dan mengucurkan energi besar mungkin satu hal yang aku inginkan sekarang. Bukan terikat kekalutan seperti ini. Jiwaku sedang menggebu. Melingkar banyak hal. Tidak hanya tentang kamu. 

Berdiam, sesaat meninggalkan hiruk pikuk. Menanggalkan ego, topeng, maupun aksesoris penipu.
Disini, di rumah sakit jiwaku. Aku bisa bercermin dalam kejujuran. Dalam derajat zona ternyamanku. Mengajak raga berbicara. Ketenangan menuju nirwana. 

Aku butuh rumah sakit jiwaku.
Aku ingin bersujud. Menangis di ujung sajadah dalam sujud. 
Aku tidak boleh lemah.

Aku mungkin bukan orang terbaik untukmu.
Aku terlalu kekanakan menghadapimu.
Aku terlalu egois menghadapimu.

Aku butuh uluran tangan untuk mengusap.
Bukan untuk menghakimi.
Bukan untuk saling menyalahkan mengapa kamu begini mengapa kamu begitu.

Ijinkan sejenak aku menemui rumah sakit jiwaku.
Sejenak saja, setelah itu, kau bisa lakukan keputusanmu.

-SRSL-

Kamis, 16 Mei 2013

Membekas Jejak

Errr,,sudah berapa?
Hmm,,lumayan ya?
Ternyata cukup banyak sekon yang berlalu. Harusnya sudah banyak juga jejak yang ku tinggalkan dengan milyaran sekon yang ku lalui.

Pernah lihat senja di sore hari nda?
Ketika kita melihat senja, semburat sinar keemasan di atas hamparan awan putih. Senja, hanya datang sejenak untuk memberi waktu rehat pergantian siang dan malam. Setelah itu, awan berangsur gelap seakan perawan yang tak terjamah.

Mungkin, jejak yang ku lalui sama dengn senja. Datang sementara, tanpa jejak bahkan mungkin lupa tentang apa yang sudah ku lakukan. Disini, di atas teras lantai dua kantor, termenung aku menatap langit dengan sesekali meneguk segelas air putih di tangan. Berdiam dan bertanya, dimana jejakku?

Hmmm...
Daripada terpaku memikirkan jejak langkah yang hilang, mengapa kita tidak berlari dan menciptakan jejak-jejak baru? Berlari dan menari. Mencipta jejak serta membebaskan kaki melangkah sesuai kehendak.

-SRSL-