Sabtu, 27 Desember 2014

Hidup Ini Lucu!

Sepertinya sekarang semakin mudah saja melihat kesuksesan seseorang. Kamu akan menemukan dimana keberadaan mereka. Berfoto di luar negeri, berfoto seru dengan teman-teman, berfoto narsis dengan berbagai gaya, berfoto di tempat mewah, bahkan meng-update perkembangan anak mereka, seakan-akan setiap jengkal perkembangan adalah masa berharga yang sayang bila terlewat. 

Ukuran sukses hari ini : 
Semakin banyak berita yang kamu upload dengan bertumpuknya komentar atau like atau love. Apakah itu? Rela berhutang untuk sekedar punya smartphone super canggih. Paling mentok yang dicari besar kamera, bisa bbm, whatsupp, instagram, twitter, fb, kakao, line. Padahal dari sekian banyak fasilitas yang disediakan ujungnya cuma buat foto-foto lalu meng-upload biar beken. Ukuran sukses.

Saat ini, ukuran seseorang disebut manusia bisa dilihat dari gadget yang dipunya. Semakin canggih handphone-mu, maka semakin menawan dirimu. Bahkan, tak sedikit orang berani menjadi maling atau pengamen untuk sekedar disebut manusia. 

Manusia sekarang mudah sekali mengeluh. Hal sepele bahkan dianggap sangat penting dengan meng-update di kotak status. Hujanlah, panaslah, sakit hatilah, galaulah. Status galau kadang bisa diartikan semacam pemikiran kusut yang bingung harus dilampiaskan kemana. Mental yang semakin melemah, jaman dulu belum ada socmed pun berita bunuh diri juga tidak menjadi trending topic.

Hidup ini lucu, bahkan ketika kamu berkata hidup ini lucu namun untuk tersenyum saja kamu lupa caranya.

Jadi apa ukuran suksesmu?

Sedikit Saja, Bicara Tentang Kebebasan

Menjelang tiga bulan kurang tiga hari. Keputusan yang kuanggap terbaik, sampai detik ini. Hasil dari pertimbangan hebat, antara idealisme dan tanggung jawab pada kesayangan. 

Terkadang hidup tidak melulu bicara mengenai kalah atau menang. Adakalanya kamu akan merasakan bebas dari apa-apa. Pikiran bebas yang tak ingin berpikir apa-apa, pandangan yang bebas, hati yang bebas, senyum yang bebas. Terkadang sederhana saja untuk menikmati hidup. 

Selama masa bebas ini, aku benar-benar merasakan bebas. Bahkan pernah--sering, ketika terbangun lupa ini hari apa. Tak ingin berpikir. Bangun tidur, minum air putih segelas, ambil wudlu, shalat, berhenti sejenak, bahkan memilih membaca buku hingga tertidur kembali. Masa dimana aku ingin menikmati hidup dengan apa adanya, dengan bebas tanpa bayangan gelisah tentang masa depan atau masa lalu. Mengalir saja. 

Kebersahajaan itu muncul ketika hanya kamu dan dirimu yang bicara. Memandang tenang sekeliling dengan hati luas penuh maklum. Aku menikmati diamku. Saat diam, telingaku terasa lebih peka dan hatiku lebih penuh. 

Kamu ingat? ketika kita bertemu? kamu terheran menanyakan keberadaanku. Ya, aku jawab, everyday is holiday. Kuharap, pemikiranmu masih sederhana, masih menegurku untuk tak keterlaluan berimajinasi. Tenang saja, bahkan kamu masih indah di hatiku.

Rabu, 24 Desember 2014

Klakson

Aku membutuhkan banyak pertimbangan untuk sekedar membunyikan tombol di setir sebelah kiri itu. Bagiku, klakson ialah benda keramat yang tak boleh sembarang dibunyikan. Dia bukan sekedar tombol yang bisa ditujukan pada sembarang orang. Bukan pada orang yang mendadak berhenti, pada tukang krupuk yang tak terlihat orangnya dari belakang,  atau pada mereka yang ketahuan melamun di lampu merah. Bukan..bukan.. Bahkan aku membenci mereka yang menambahkan umpatan kasar di ujung klakson.

Klakson memberikan sengatan tersendiri, menimbulkan gelisah sesaat setelah mendengar. Baiklah, mungkin klakson diciptakan sebagai pengganti mulut. Tapi bukankah "mulut" itu bisa lebih dibunyikan dengan halus? tak perlu tekanan berotot dengan lolongan yang panjang. 

Bila klakson merupakan kepanjangan dari "mulut", maka dia merefleksikan bagaimana kamu. Manusia dengan penuh emosi dan tingkat kesabaran yang payah. Sedikit-sedikit menekan klakson.

Saat di jalan kita memiliki berbagai hal yang dapat menyebabkan perubahan pada mood. Pada lampu merah yang terkesan lambat menghijau, terjebak palang pintu kereta yang ternyata hanya sebuah lokomotif yang berjalan manja, atau pada angkot yang suka berhenti sembarangan. Hal sepele yang mampu merubah kondisi diri dalam sekejap, tentunya itu akan terjadi bila kamu mudah terseret. 

Hmmm...bukankah kita memiliki hak untuk bersikap? Bukan dipengaruhi keadaan namun kita yang mempengaruhi keadaan. Andai kita bisa lebih bisa menarik hal baiknya, menahan untuk tak mengumpat, tak mengeluh. Kita punya kepentingan. Sama, mereka juga. Namun kita memiliki hak untuk memilih, bahkan sebelum takdir akhirnya menuntun kita. Pokoknya kita bisa memilih. Coba sedikit bersedekah, dengan klakson. Tahan untuk tak menekannya. Coba beri kesempatan, gesekan hanya meninggalkan bekas, namun sekali lagi, kita memiliki pilihan dan bertanggungjawab atas suasana hati.

Jumat, 21 November 2014

Kamu Tak Sendiri

Tak pernah sendiri dan memang tak akan pernah sendiri. Kesendirian ialah buah dari kekerdilan cara berpikir. Seperti berprasangka tentang suatu keburukan, padahal sebetulnya keburukan hanya pengendapan dari kecurigaan. Lalu kecurigaan yang dipupuk akan menimbulkan kebencian dan berdampak gelisah tak berujung. 

Kita bisa kok hidup sendiri, mengandalkan kemampuan diri dan Allah.
 Iyaaa...memang betul, tapi ingat,
"Suatu saat kamu akan butuh orang lain. Yah, semacam rindu rasa ingin didengar saja. :)"

Minggu, 19 Oktober 2014

Biar Kusebut Ini Sebuah Nasehat di Pagi Hari

Matahari terbit dan terbenam sesuai jadwalnya. Kecuali jika ada awan genit yang sengaja menutupnya. Setiap hari seluruh penghuni semesta bekerja sesuai dengan tugasnya. Bulan menyinari di malam hari, matahari di siang hari, ada hujan yang hadir pada bulan-bulan tertentu, sisanya kemarau yang kadang tak berujung. Belum lagi angin yang bertugas mengeringkan baju atau berjasa mengelap tetesan keringat.

Ya, begitulah. Semua ada porsi dan bagian masing-masing. Tak terkecuali aku dan kamu. Memaksa untuk mampu mengerjakan semuanya terkadang merasa tenaga tak mumpuni. Semua ada bagiannya, begitu kata seseorang padaku di pagi itu. Berbagilah, maka kau akan menikmati hidupmu.

Selasa, 14 Oktober 2014

Iman Mutiara

Iman tak dapat diwarisi dari seorang ayah yang bertaqwa
Ia tak dapat dijual beli
Ia tiada di tepian pantai
(Raihan - Iman Mutiara)

Tak ada sesuatupun yang terjadi tanpa disengaja. Tak ada rasa yang tercipta tanpa kehendakMu.
Rabbi, ini adalah keindahan. Kenikmatan tiada tara. Janganlah Engkau cabut nikmat bermesraan denganMu.

MempercayaiMu berarti percaya atas kuasaMu. Apa yang terjadi adalah anugerah, maka tetapkanlah hati ini padaMu wahai Sang Penguasa Hati.

SRSL, 14102014

Kesibukan

Rutinitas baruku menjadikanku mirip dengan kelelawar. Bagaimana tidak, pagi hari dihiasi dengan rutinitas rumah tangga, beberapa aktivitas skala prioritas dan boci (bobo ciang). 

Boci, sebuah rutinitas sederhana yang kurindukan sejak lama. Dulu, di tengah kepenatan bekerja aku sering mimimpikan bisa boci dengan santai ditemani lagu-lagu campur sari dari radio kesayanganku. Dahulu sih mustahil, namun impian itu sekarang menjadi nyata.

Selepas shalat dzuhur biasanya aku boci. Satu hingga dua jam saja, namun efeknya sungguh menakjubkan. Saat waktunya tidur malam aku tidak merasakan kantuk sedikitpun. Akhirnya, seperti inilah jadinya.

Sesekali melirik hape sepertinya hal yang sia-sia karena sudah tersetting turn-off otomatis pukul sebelas malam. Mungkin sebelumnya beberapa kerlip merah menandakan adanya pesan masuk. Kalau tidak pesan pribadi, pasti notifikasi teman-teman erparamai di grup. Ah, semua itu indah.

Menjadi ibu rumah tangga itu berat. Jangan dikira membersihkan rumah adalah pekerjaan yang ringan. Mulai mencucu baju, menyapu dan mengepel lantai, setrika, mencuci piring, memasak, membersihkan perabotan, hingga membersihkan kamar mandi. Hmmm...pantas saja ibuku sering senewen jika digoda bapak dengan ucapan. "enak kamu di rumah tidur terus." Aku pun kini jadi over sensitif dengan kalimat itu. Hehehe

Ada beberapa PR yang belum terselesaikan. Aih, semoga Allah bersedia mencabut kemalasan dalam diri. 

Bermain dengan jadwal harian dan skala prioritas memang menyenangkan. Seperti pada sebuah lomba yang sudah terjadwal dengan baik. Semua menjadi terpacu dengan target waktu yang telah dibuat. Mencuci selesai jam sekian, memasak jam sekian, membersihkan rumah jam sekian, dan lain sebagainya. Semuanya asyik kok! Buktinya aku menikmati sekali. hehehe

Tidak terikat pada jam kerja ternyata belum sepenuhnya membuatku memiliki waktu luang. Empat belas hari berlalu, aku masih kewalahan mengatur jadwal harian. Jadi, mohon dimaafkan jika sering melewatkan informasi dalam obrolan di grup. Ketinggalan jadwal info untuk kumpul dan bertemu. Ah, baru tahu bila hari Sabtu kemarin ada pertemuan koordinasi panitia Pesta Wirausaha TDA Kampus Surabaya, dan pertemuan kelas menulis novel di hari Ahadnya.

Tari masih belum sukses belah diri!

Rutinitas yang padat membuat kepayahan. Tak apalah, aku mulai menikmati permainan ini. Ya, permainan mengatur dan menggeser skala prioritas. Tapi Ahad lalu semua agenda gagal. Menghadiri undangan wisuda Dini dan Emma. Hiks. 

I do Focus!

Semua ini proses. Untuk menjadi lebih baik itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Tak apalah bersakit-sakit dahulu, nanti pasti ada manisnya. Dimulai dengan hal kecil dan sepele, aku rasa jauh lebih baik daripada bangga dengan ungkapan "menjadi diri sendiri" dengan konteks yang amburadul. Bangun kesiangan, melewatkan shalat subug, mengabaikan janji, menghabiskan waktu di depan TV, berinternet atau kurang kerjaan dengan membaca updated status socmed teman berkali-kali.

Tidak ada hal besar yang diperoleh dengan instan. Kalaupun kamu mendapat durian jatuh, pasti ujian berikutnya adalah seberapa mampu kamu mempertahankan kesuksesanmu. Sekali lagi, memperoleh itu mudah, mempertahankannyalah yang sulit. Semoga dikuatkan langkah kita dalam kebaikan oleh Allah.

23.00
Aku harus memaksa mata untuk istirahat.

Senin, 06 Oktober 2014

SELAMAT DATANG OKTOBER!

Oktober ialah bulan dimana usiaku berkurang dalam kalkulasi tahun. 

Aku tak pernah tahu akankah esok masih kutemui dengan nafas yang terhirup-hembus secara sempurna. Pemahaman tentang kematian pun baru kupahami setelah berusia seperempat abad kurang dua tahun dua puluh empat hari. Ah, bila kuingat rasanya malu dan khawatir tak mampu melihat wajahNya dengan ceria nantinya.

Oktober pun menjadi awal kesadaran dan pembuat keputusan besar.

Seperti yang kita ketahui, nikmat itu terdiri dari dua hal yang paling sering kita lalaikan. Yaitu nikmat kesehatan dan nikmat waktu luang. Enam belas tahun bukanlah waktu yang singkat. Akupun menyadari bahwa kesempatan itu tak mampu kugunakan dengan sebaik-baiknya. Andai kala itu fokusku terarah tepat pada sasaran, maka kata penyesalan tak akan hinggap dalam diri. 

Pembuat keputusan besar. Oktober menjadi awal untukku benar-benar berstatus sebagai mahasiswa. Akhirnya! 

Beberapa bulan lalu, aku harus memilih untuk bekerja sebagai auditor atau pengusaha. Ternyata Allah begitu baik, kesempatan itu diberikan padaku secara bertahap. Enam bulan menjadi auditor, dan akhirnya melanjutkan sebagai saudagar. Aih, nikmat Allah mana lagi yang kamu dustakan, Tari?

Kegelisahan memang tak cukup dialihkan dengan rekreasi atau pergi bersenang-senang saja. Akan tetapi, kegelisahan harus dicari sumber pangkalnya agar kita tahu bagaimana mengatasi akibatnya. 

Proses pencarian jati diri.
Aku rasa semua orang seharusnya mampu melewati ini pada usia transisi. Namun terkadang merasa bingung juga jika masih menemukan orang tua yang masih tidak beraturan hidup dan bicaranya. Apakah mereka tidak melalui proses ini? Disebutnya apa proses ini oleh mereka? Tanda kejenuhan atau tingkat stress yang meninggi? Ah, aku harus mencari jawabnya.

Mengenal siapa diriku merupakan pintu untuk mewujudkan pencapaian-pencapaian lainnya. Rasa menyesal, bersalah dan malu akan masa lalu seakan menumpuk. Kata andai secara spontan seringkali keluar. 

Kita tak boleh hidup dalam bayangan masa lalu yang penuh dengan penyesalan. Hidup kita untuk saat ini dan masa depan, bila esok tak ingin mengalami penyesalan yang sama maka kita harus melakukan yang terbaik secara terus-menerus. 

Impian itu banyak. Sama halnya dengan cita-cita dan keinginan. Akan tetapi, impian selamanya hanya akan menjadi impian jika tak diimbangi dengan pergerakan.

Ah, setidaknya membuat jadwal harian bagiku merupakan suatu usaha. Dan aku harus mematuhinya. Aku rasa, tak akan ada hal kecil yang sia-sia bila itu baik. Bi idznillah.

Sidoarjo, 07102014
SRSL

TULUS

Lakukanlah dengan tulus, maka dunia pun akan memperlakukanmu dengan tulus.

Tulus, sebuah kata yang ambigu. Bagaimana menemukan ketulusan? Bila ketulusan adalah cerminan dari keikhlasan maka seharusnya tulus dan ikhlas adalah dua kata yang berbeda. 

Kata-kata tulus seringkali kutemukan disela-sela pujian.
Saat Fatin menyanyi di X-Factor, "Fatin, kamu mampu bernyanyi dengan tulus dan jujur." atau dalam ungkapan "senyumnya tulus tanpa dibuat-buat".

Petang itu saya berkumpul dengan keluarga besar Forum Lingkar Pena Surabaya yang kebetulan disinggahi oleh Bunda Pipiet Senja. Sesi ramah tamah pun dimulai, beberapa pertanyaan dari teman-teman disambut dengan semangat oleh wanita paruh baya tersebut. Akupun lantas bertanya, "Bunda, bagaimanakah agar dapat menulis dengan tulus?"

Bunda menjawab, relatif yah itu tulus atau tidaknya. Karena yang tahu hanya kita dan Allah saja. Sebagian teman yang lain ikut menjawab bahwa ketulusan diarahkan pada motivasi menulis. Apakah pada honor atau kepopuleran. 

Bukan...Bukan itu yang ku maksud. 

Akupun melanjutkan pencarianku memaknai sebuah ketulusan. Tentang hamba terhadap Tuhannya, kasih ibu terhadap anaknya, wanita terhadap kekasihnya, hingga guru yang mengajarkan matematika di kelas. 

Aku belum mampu menangkapnya. Aku kebingungan mengenai bagaimana memahami sebuah ketulusan. Adakah yang mampu memberitahukannya padaku tentang arti sebuah ketulusan? Kuharap itu kamu. Wahai calon imam perekatku pada Rabb-ku.

Sidoarjo, 07102014
SRSL 
 

Kamis, 11 September 2014

Tak Masalah, Hamasah!

Putaran detik yang tak pernah peduli pada siapa yang merampasnya. Setiap gerakan detik menimbulkan masalah baru, bagi yang menganggapnya masalah. Masalah pun tak pilih kasih. Tak pernah peduli kau anak siapa, umur berapa, berapa hartamu, apa prestasimu. Tak akan pernah pilih kasih. 

Beda wajah beda nasib pun beda masalahnya. Masalah ada untuk tak disalahkan. Mungkin dadamu terasa sesak, kedua tangan dan kakimu dingin, bahkan jantungmu berdetak lebih cepat. Saat seperti itu, siapa yang kau tunggu? Waktulah yang berkuasa. Ia selalu konsisten, tak mau lebih cepat atau melambat. Lantas apa yang akan kau pinta? Memintanya berlari sprint berharap masalahmu segera berlalu? 

Aku rasa tak semudah itu. Masalah ada untuk ditaklukkan. Penguat serta pengenal diri. Kau bahkan tak pernah sanggup melihat kulit punggungmu tanpa bantuan kaca. Lantas, apakah kau sebut sudah mengenal dirimu? Sebutlah AKU. Siapakah aku? Baiklah, kuberikan jawaban terbaik. Aku adalah Tari beberapa memanggilku Rahayu. Keduanya sama-sama kusuka. Aku lahir dua puluh tiga tahun yang lalu. Di sebuah kota kecil Jawa Timur. Aku menyukai biru. Aku adalah orang ekstrovert. Bintangku Libra. Penggila sambal. Suka membaca. Suka menyanyi.




Yups... Itulah jawaban terbaik bila kau minta kumengisi biodata. 

Tapi, ternyata tak cukup itu untuk menjawab SIAPA AKU?
Barangkali aku termasuk orang yang terlambat mengenal siapa aku. Memahami bahwa aku seorang ekstrovert yang cenderung negatif saja baru-baru ini kuketahui. Sekali lagi, jilbab menunjukkan bagaimana perempuan seharusnya. 

Kenyataan bahwa perang paling hebat ialah memerangi diri sendiri patut kuiyakan dengan segenap hati.  Selanjutnya, secara beruntun ditunjukkan sifat-sifat jelek. Kadar sensitifitasku juga semakin meninggi. Mudah sekali menangkap radar keburukan dalam diri. Aku memang pengamat orang, namun ternyata belum benar-benar mampu membaca orang lain.

Saat bertemu dengan sifat buruk kembali rasa tak enak hati timbul kembali. Seringkali tanpa sadar aku nyeletuk, "owh, ternyata aku seperti ini". Sungguh...pertempuran terhebat adalah melawan diri sendiri. Ketika aku memulai pribadi baruku di lingkungan yang baru, mereka menyambutnya dengan baik. Tapi, saat kembali ke lingkungan lama cenderung aku kembali pada pribadi buruk. Selepasnya, hanya bisa istighfar dan minta dikuatkan untuk mengalahkan keburukan diri. 

Seseorang pernah bertanya, "nyamankah dengan kepribadianmu yang sekarang?"
Aku menjawab, sangat nyaman. Meski memang harus berjuang di awal. Baiklah, aku teringat materi empat kepribadian saat Pramuka dulu. Disitulah awal mula aku mencari tahu apa yang dimaksud. 

Sebagian besar sikapku mengarah pada ekstrovert. Pembawaan yang rame, berisik, pencilakan, suka tampil. Memang tak semuanya negatif namun semakin aku tahu semakin aku merasa tak nyaman dengan sifat dasarku. 

Kata Kak Erry, pembina Pramukaku dulu, "kalau bisa jangan stagnant pada satu jenis kepribadian. Tapi optimalkan nilai positif dari sifat dasarmu dan bergeraklah menyeberang pada kepribadian yang lain. Ambil yang baik dan cocok untukmu."

Aku pegang betul pesan itu. Tanpa sadar, para pembina pramukaku di SMP dulu sangat berjasa mengenalkan siapa aku. Semoga keberkahan melimpahi hidupnya. Aamiin.

Tak jarang aku merasa memiliki berbagai topeng kepribadian. Namun, ingatlah saat kamu bertemu dengan orang bermuka dua, jangan langsung suudzan ya? Bisa jadi saat itu ia sedang berjuang melawan sifat buruknya.

Jadi, tak masalah, hamasah Tari!

Selasa, 02 September 2014

MENUNGGU ITU MENYEBALKAN

Menunggu adalah hal yang menyebalkan. Setidaknya untuk sebagian orang, termasuk saya. 

Pagi itu, saya janjian sama teman untuk menitipkan barang dagangan yang akan dijual di Car Free Day Bungkul. Kami janjian pukul 06.00. Lewat beberapa menit saya sampai di lokasi. Coba membuka handphone masih belum ada balasan. Parahnya, handphone yang saya bawa keduanya lowbath. Walhasil saya harus menunggu dengan harap-harap cemas. 

Mengenakan bebidol coklat sambil duduk di atas motor di pinggir jalan. Sesekali melirik kaca spion di kiri dan kanan, berharap muncul sosok yang saya tunggu. Sepertinya tiga puluh menit lebih saya menunggu. 

Sempat terlintas ingin meninggalkan saja saat menunggu. Namun, tiba-tiba muncul pemahaman "Ayo belajar sabar!" Akhirnya, saya pun memutuskan untuk menunggu. 

Entahlah pagi itu saya kuat sekali ingin menunggu. Rasanya seperti merindukan perjuangan mengalahkan ego. Sambil memasukkan beberapa pikiran positif yang ternyata memang membuat hati lebih nyaman. 

Saya memiliki kepribadian ekstrovert - melankolis. Saat bersama orang lain, saya "tampak" rame dan menyenangkan. Namun, berbeda ketika sendiri. Sebetulnya, saya tipe orang yang suka berbicara dengan diri sendiri. Belakangan, baru saya ketahui itu istilah lain dari muhasabah. 

Seringkali saat sendiri, saya putar ulang kembali film yang telah lalu. Bila timbul gelisah atau rasa tak enak, itu artinya saya melakukan kesalahan. Astaghfirullah...

Saya juga tipe pemikir. Segala hal yang saya pikir, mudah sekali bercabang. Belum tuntas pada satu hal, fokus saya sudah bercabang lagi.  Terkadang saya kewalahan juga menghadapinya. Salah satu kelebihan orang ekstrovert, ide kreatifnya selalu jalan.

Namun, seringkali saya merasa iri dengan orang yang pemikirannya sederhana saja. Menjalani segala hal dengan mengalir begitu saja. Teman saya bilang kalau saya tipikal orang yang detail.  Segala hal dipikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi.

Kembali pada topik menunggu. Saat menunggu, saya memiliki beberapa waktu untuk tidak terikat pada rutinitas. Saat bepergian saya suka membawa tas dan menyimpan buku di dalamnya. Sebuah hadits bilang, "Sebaik-baiknya teman menunggu adalah buku yang dibaca".

Saat menunggu itulah, saya bebas bermuhasabah. Merenungkan sejenak apa yang sudah saya lalui. Saya merasa itulah waktu ter-romantis untuk bermesraan denganNya. Lambat laun saya memiliki kebiasaan mengajak Allah berdialog. Secara zahir memang tampak seperti dialog satu arah. Tapi, setelahnya saya selalu merasakan kelegaan bahkan jawaban berupa solusi yang melintas dalam pikiran saya. Allah, terima kasih telah menumbuhkan kepekaan dalam diri ini.

Saat menunggu juga, terlintas sebuah pemahaman... 

"Allah, terima kasih. Mungkin kau takdirkan saya menunggu lama seperti ini. Namun saya yakin, ini adalah yang terbaik"


Saat Allah menetapkan sesuatu, percayalah itu yang terbaik. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi. Namun itu pasti yang terbaik dari yang terbaik. Siapa tahu, Allah menahan langkah untuk menghindarkan kita dari segala hal buruk. Allah lebih tahu dari yang kau tahu. Tak perlu risau mencari alasannya, karena waktu yang selalu menang untuk menjelaskannya.

SRSL
Kayun, 02092014

Selasa, 26 Agustus 2014

Siapa Pemberi Jawaban?

"Jangan pernah kau merasa dirimu tak sanggup menghadapi. Mintalah kepada yang disana, hingga terbuka hatimu dalam menjalani kehidupan ini..."
-Sabila, Mintalah-

Kata orang bijak, hidup ini hanya sebatas berteduh untuk minum. Semakin kita mengejar, semakin kita tertinggal. Apakah kamu pernah merasakan keraguan atas pilihan? Ya, pasti sering dan hampir selalu iya. 

Mentari pagi ialah tanda adanya kehidupan yang harus diperjuangkan. Saat bangun seharusnya kita bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan memperbaiki kesalahan. Namun, seringkali aku merasa ketakutan saat bangun tidur. Berdoa untuk dimatikan kadang terasa jauh lebih baik. "Rabbi, bila berdetaknya jantungku hanya membuat diriku menjadi hamba yang ingkar, maka matikan aku sekarang, aku ingin mati dalam keadaan Islam."
 
Jawaban atas pilihan adalah bagian dari skenario Allah. Lantas kepada siapa lagi meminta petunjuk jika bukan kepadaNya? Allah adalah penyimpan rahasia terbaik. Maka, hanya Allah yang berhak mendengar keluh kesah hambaNya, bukan hamba kepada hamba. 

Jawaban tersebut bisa jadi kita anggap baik, namun belum tentu disambut baik juga oleh orang lain. Bisa jadi sebaliknya, kita tak menginginkan namun terkadang baik di mata orang lain. Tentunya ada pertimbangan lain untuk meyakinkan pilihan. Entah itu melanjutkan atau menghentikan pilihan.

Bila sudah begitu, maka kembalikan pada Allah sebagai pemberi keputusan terbijak. Apapun hasilnya, pasti yang terbaik. Saat menghadapi sesuatu yang berbenturan dengan keinginan, maka keikhlasan hanya perkara waktu. Jangan bersedih, ada Allah bersama kita.

SRSL
Kayun, 27082014

Selasa, 12 Agustus 2014

Mentari Boleh Bersinar Kembali


Sepoi angin di atas jembatan yang melengkung di tengah danau, tak mampu mendamaikan hati dua insan. Aida, dengan suara tegasnya tak mampu menyembunyikan keparauan hatinya. Pandangan mata lemah yang tak mampu menatap sepasang mata pria yang ditemuinya tujuh tahun lalu itu. Mata bulat dan hangat yang dulu tak pernah lepas dari tatapannya. Sorot mata yang bermukim di imaji senjanya.

Digigit kedua bibirnya ketika meyakini suara parau yang akan keluar. Menahan dengan sekuat tenaga untuk tak lemah dihadapannya. Aida masih dengan mata menerawang ke arah langit, berusaha menegakkan tubuh. 

"Aku ingin menikah denganmu..."

"Sungguh, kalimat yang kunanti, namun bukan untuk detik ini. Aida lima tahun dulu yang berhak. Tak untuk Aida yang sekarang. Pergilah."

"Apakah sepasang mawar yang kita tanam tak boleh melihatku menepati janjiku untukmu?"

"Pergilah, aku sudah mengikhlaskanmu, bahkan sebelum mentari terbit kembali..."

Rabu, 23 Juli 2014

Aku Rapopo

Siang-siang buka beranda Facebook, nemu mainan tanya jawab. Langsung flashback deh ke masa seragam merah putih. Sebenarnya ini nda penting, jadi nda usah di baca, anggap saja aku lagi alay dan lagi nganggur.

1. Nama asli kamu?
= Siti Rahayu Sri Lestari
2. Nama samaran?
= Rahayu, Tari
3. Umur kamu?
= 23
4. Inisial First love kamu?
= Lahacia, takut ge-er.
5. Hal apa yang buat kamu jengkel?
= Menunggu
6. Kamu punya peliharaan?
= Nda.
7. Apa? Namanya siapa?
= Nda punya.
8. Tinggi badan kamu?
= 153
9. Berat badan kamu?
= please. -___-
10. Angka kesukaan kamu?
= 21
11. Bulan kesukaan kamu?
= Ramadhan
12. Hari kesukaan kamu?
= Ahad
13. Musik kesukaan kamu?
= Yang liriknya suka kasih nasehat.
14. Hal terindah yang pernah kamu lakuin?
= pergi ke mall sendiri, naik bis sendiri, ke pantai sendiri, naik bemo sendiri, naik kereta sendiri. Pokoknya kalau lagi menyendiri.
15. Pernah mencoba untuk bunuh diri?
= Pernah.
16. Dengan cara apa?
= Minum bodrexin satu pack.
17. Film terakhir yang kamu tonton di laptop atau komputer kamu? .-.
= a beautifl mind
18. Musim kesukaan kamu?
= musim liburan
19. Alasan suka?
= Ya karena liburan.
20. Buah kesukaan kamu?
= semangka, jeruk.
21. Warna baju kamu yang sekarang kamu pakai?
= coklat
22. Motifnya apa?
= api bulet-bulet
23. Punya handphone?
= yes
24. Dibeliin atau beli sendiri?
= ada yang beli sendiri ada yang dibelikan
25. Suka shopping?
= tergantung
26. Nama kecil kamu?
= tari
27. Baju yang sering kamu pake?
= rok dan gamis
28. Merek sepatu pergi kamu apa?
= lahacia. takut ngiklan.
29. Ukuran sepatu kamu?
= 39-40
30. Benda kesayangan kamu waktu kecil?
= bekel
31. Yang kamu suka dari wajah kamu?
= hidung, gede kaya jambu klampok
32. Hal yang paling memalukan dalam hidup kamu?
= pipis di pasar ketauan temen es-de
33. Apa ada orang yang kamu benci?
= aku memaafkan semua orang
33. Siapa dia?
= nda ada
34. Orang yang akhir-akhir ini akrab sama kamu
= aku berusaha akrab dengan banyak orang
35. Seharian biasanya ngapain aja?
= kerja, kuliah, internetan, baca
36. Golongan darah kamu?
= A+
37. Menurut kamu, kamu itu gimana?
= berusaha berpikir serasional mungkin untuk melihat sisi dunia dari perspektif yang lain
38. Menurut orang tua kamu, kamu anak yang gimana?
= baik dan manislah. bapak emak guweh gitu lho -___-
39. Kamu suka masak atau enggak?
= suka 

 40. Kalau iya Masak apa? Jujur ya :>
= segala macam sayur dengan satu jenis masakan, tumis.
41. Kalau kamu pergi, baju apa yang biasanya kamu pakai?
= rok lebar dan gamis
42. Suka pakai aksesoris? (cowok cewek)
= ya
43. Akesoris apa? (jam tangan/ topi/ de el el)
= jam tangan
44. Kamu berapa bersaudara?
= 4
45. Kalo pergi boleh milih, pengennya sama siapa?
= sama abi
46. Makanan kesukaan kamu apa?
= bakso yang suka lewat pake rombong. Merasa istimewa, dianterin langsung sama bapaknya.
47. Minuman kesukaan?
= air putih
48. Kalau kamu bisa punya pacar animasi, pengennya sama siapa?
= aku sukanya cuma doraemon, tapi masa iya sama doraemon atau nobita?
49. Kalo boleh milih, kamu pengen tinggal dimana?
= di kampung yang berhalaman luas.
50. Kamu tipe orang yang gimana sih biasanya kalau sama orang yang baru dikenal?
= langsung akrab.
51. Paling suka ngasih hadiah apa dikasih?
= ngasih. ngerasa kaya aja kalo bisa ngasih.
52. Menurut kamu, cinta itu apa?
= cinta? apa ya? coba tanya google.
53. Kalau lagi sedih biasanya ngapain?
= diem di kamar. ngelakuin semua sendirian.

 54. Suka gambar?
= lumayan
55. Kalau iya, gambar apa?
= gunung dan rumah-rumahan.
56. Alatnya apa aja?
= kertas, pensil atau bolpen.
57. Menurut kamu, dikeluarga kamu siapa yang paling jengkelin?
= nda ada
58. Warna kesukaan kamu?
= biru 

59. Kamu suka bunga apa?
= bunga sepatu
60. Alesannya kenapa?
= sederhana dan bersahaja, bisa tumbuh dimana saja.

 61. Pernah ngerasain nyesek gara gara suka seseorang?
= menurut ngana??

 62. Agama kamu apa? (maaf)
= Islam

 63. Oh iya lupa, kamu cewek atau cowok?
= cewek tulen
64. Hal yang paling berkesan dalam hidup kamu?
= Menjadi orang paling bahagia di dunia
65. Kamu punya nomor telfon berapa banyak?
= 3
66. Untuk apa aja?
= . sms, telpon dan bbm
67. Tipe cewek kamu gimana?
= . eike cewek keles -____-
68. Menurut kamu, kamu cantik atau enggak?
= cantiklah.
69. Kamu kalau punya pacar maunya senpaii atau kouhai?
= senpaii dong
70. Rambut kamu warna apa?
= hitam
71. Modelnya gimana? Panjang ? Pendek?
= lahacia
72. Dulu waktu masih kecil, kata mamamu kamu orangnya?
= lucu, pencilakan, nangisan.
73. Apa masih sama dengan sekarang?
= hehhhh... in syaa Allah nda.
74. Nomor absen kamu terakhir sekolah berapa?
= 6
75. Pernah niat buat ngebunuh orang?
= nda
76. Alasannya kenapa?
= liat tikus mati aja uda lemes, gimana mau ngebunuh?
77. Kamu lagi suka sama seseorang?
= emmmmmmm......
78. Kenapa bisa?
= emmmmmmm.....
79. Kapan kamu ulang tahun?
= 21 oktober
80. Ulang tahun terindah bagi kamu itu kapan?
= ulang tahun ke-21
81. Kapan terakhir kamu telfon orang?
= tadi pagi
82. Siapa yang kamu telfon?
= klien
83. Bahas apa?
= laporan keuangan
84. Mata pelajaran kesukaan kamu?
= bahasa indonesia, ips
85. Alasan suka?
= suka yang bisa langsung diterapkan di kehidupan saja.
86. Mata pelajaran yang kamu gasuka?
= sebenernya yang berhubungan dengan matematika
87. Alasan ga suka?
= rumusnya suka kembar
88. Apa kamu punya musuh?
= nda ada
89. Musuhan gara gara apa?
=
aku memaafkan semua orang 
90. Dia atau kamu yang mulai?
= dibilangin nda ada ko.
91. Siapa musisi favorit kamu?
= opick, amanda, edcoustic, raihan.
92. Musik yang sering kamu dengerin?
= musiknya mereka (nunjuk nomer 91)
93. Suka ngemil kah?
= kadang
94. Apa aja yang dicemil?
= apa aja, asal bukan kayu dan plastik
95. Apa warna tas dan motif tas kamu?
= hitam, polos.
96. Gambar tema hape kamu apa?
= poto bapak ibu sama ponakan
97. Suka merhatiin orang?
= suka banget
98. Kamu punya sahabat? Siapa?
= ada deh.
99. Kamu suka jahil kah?
= kadang, kalo lagi kumat.
100. Kamu anak ke berapa?
= 4. eh, kenapa nda nanya dari tadi???

Minggu, 13 Juli 2014

Saya Orang Paling Bahagia

Siapa orang paling bahagia di dunia ini?
Angkat tanganmu tinggi dan katakan, SAYA ORANG PALING BAHAGIA.

Bila memiliki Bapak dan Ibu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila memiliki saudara yang menyayangimu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila memiliki pasangan yang soleh dan solihah, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila hartamu habis karena menafkahkan pada orang lain, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih banyak teman yang bisa kau tegur, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila pekerjaanmu terlaksana sesuai amanah, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih ada teman yang menasehatimu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih ada makanan di meja makan, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih memiliki kesempatan untuk belajar, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih memiliki mimpi yang kuat, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih ringan langkahmu menuju majelis ilmu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih dipertemukan dengan orang yang menyakitimu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih ada pelukan hangat sahabat, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"
Bila masih tersimpan rasa yang meluap untuk Allah-mu, katakan "Saya Orang Paling Bahagia"

*******

Sore itu menjadi bukti betapa kasih sayang Allah begitu luas, dan betapa Allah sesuai dengan prasangka. Tepat seperti kretekan hati. Maka nikmat Allah mana lagi yang harus didustakan? Allah saja menunjukkan rasa cintaNya, mengapa harus malu menunjukkan balik?

Siapa yang menggerakkan lidahmu untuk berdzikir?
Siapa yang memilihkan baju hingga orang memuji dirimu?
Siapa yang membelikan kendaraan hingga mudah kemanapun kau pergi?
Siapa yang membuatmu ingat hari ini hari Senin?
Siapa yang memilihkan menu buka yang enak untukmu?
Siapa yang mengenalkanmu pada lagu-lagu yang mengingatkanmu padaNya?
Siapa yang membuatmu menangis pada setiap sentuhan hati?
Siapa yang membnuat orang lain menyayangimu?

ALLAH AZZA WA JALLA  jawabnya.

Percaya atau tidak, namun harus percaya bahwa apa yang terjadi dalam tiap detik ini sudah tertulis dalam Lauhul Mahfudz. Orang-orang yang akan kita temui, baju yang kita kenakan, makanan yang kita makan, tempat yang kita kunjungi, ucapan yang kita keluarkan, sikap yang kita lakukan, bahkan niat yang masih dalam hati. Allah sudah menulis di kitab agungNya... 
Saya adalah 
"Orang Paling Bahagia, because Inallaha ma'ana...."

Ayo tunjukkan, Islam ada di wajah, di senyum, di langkah, di tangan, di kaki, di pendengaran. Islam ada pada diri kita.

Alam Semesta, 14072014
-SRSL-

Kelakar Sunyi

Tepat pukul tiga pagi pada Senin dua puluh satu mei dua ribu. Punggungku nampak merunduk dengan tangan melingkar pada kedua kaki. Menyembunyikan wajah di balik semburat hiruk pikuk dengungan lalat. Menutup mata tak menjanjikan dunia terlihat buta. Semua wajah berkeliling meneriakkan suara. Apa-apaan ini?

Kueratkan pelukkan pada kaki dan berusaha menulikan pendengaran. Suara-suara bising masih saja menggelayut parau. Tidak-tidak. Bukan ini yang kumaksud. Semua terasa penuh seakan ingin meluap. Namun hanya ada di dalam, kau tak mampu melihatnya. 

Bila ilalang kering mampu bereinkarnasi, maka fatamorgana wajah-wajah itu semakin kuat menghijau. Ingin sekali kusebarkan sapi, agar mereka menelanmu tanpa sisa. Aku suka sapi, karena ia tak suka berpikir panjang. 

Mata yang masih mengatup, telinga yang ditulikan, serta mulut yang otomatis terkunci. Tuhan, aku masih melihat, aku masih mendengar, namun tak seuntai pun tersampaikan. Aku ingin terlelap. Terkadang, tidur pulas ialah mimpi yang menjadi nyata. 

Tuhan, aku ingin melihatnya dari jauh. Tidak-tidak, dari dekat saja. Agar dapat kulihat senyum membakar itu. Tuhan, aku ingin meraih tangannya, untuk kutarik pada duniaku. Tidak-tidak, hanya agar dia tahu ada satu rasa yang ikhlas kukembalikan padaMu.

Kamis, 10 Juli 2014

Woles Brrroooooo!!!

Aku selalu meyakinkan diri bahwa karakter adalah pilihan. Dalam Islam, karakter baik dinamakan akhlaqul karimah. Karakter baik datangnya dari Allah dan itu tak serta merta dihadirkan dengan instan. Pada dasarnya kita adalah sama, ketika dilahirkan semua dalam keadaan netral. Belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pembentuk pertama ialah lingkungan terdekat, yakni keluarga. 

Beberapa hari ini aku sering diingatkan untuk bergegas. Bergegegas dan bergegas. 
Bergegas tentu berbeda dengan tergesa-gesa. Bergegas berarti menyegerakan, sedangakan tergesa berarti menunda. Itu artinya, tergesa adalah hadiah dari malas. Malas merupakan salah satu hawa nafsu. Jadi, nafsu itu tak cukup hanya nafsu makan dan nafsu dalam arti konotasi negatif lainnya. 

Aku sendiri merasa tertampar bila menerima hadiahnya. Menyesal dan menyesal saja. Selalu. Ughhhh... bahkan aku kesal pada diriku. Ternyata, menunda lima atau sepuluh menit saja pengaruhnya sudah besar sekali. Misalnya, selepas shalat subuh, kita memiliki dua pilihan. Pertama, bangun lalu melakukan pekerjaan rumah atau membaca buku. Ataukah kita melanjutkan bersembunyi di balik selimut hangat?

Satu hal yang kusadari, memilih tidur dengan waktu yang singkat dan hati yang tidak tenang justru membuat tubuh tidak semangat saat harus kembali beraktifitas. Belum lagi bila saat terlelap singkat tersebut kita mendapat mimpi yang tidak mengenakkan. Ah...lagi-lagi Rasulullah SAW benar...Selain berpengaruh pada rejeki, karena kondisi tubuh yang terlanjur "lemas" membuat kita malas untuk bekerja. Dengan malas bangun ternyata membuat kita melewatkan doa Rasulullah yang meminta keberkahan atas umatnya yang bangun di pagi hari. Wah, kalau Rasulullah sudah berdoa, tapi kitanya masih tidur, ya bablas ngowos aja tuh doa. Lebih parah lagi bila tidur yang tidak berkualitas tadi meninggalkan sisa-sisa kantuk dalam perjalanan. Nah, apa tak berbahaya tuh? 

Islam memerintahkan bergegas dalam hal apapun. Kalau dalam bahasa Indonesia disebut cekatan atau cakcek bila dalam bahasa Jawa. Bila kinerja seseorang diukur dari caranya makan, maka saya tidak setuju. Buktinya, Rasulullah saja kalau makan sangat menjaga betul tekniknya. Tidak tergesa juga tak melambat. Pas pada takarannya namun tetap terjaga kualitas kerjanya.

Menunda mengerjakan tugas kuliah itu merepotkan. Menunda pekerjaan untuk bikin KKP itu merepotkan. Menunda untuk mencuci motor itu juga merepotkan. Intinya, apapun yang ditunda itu merepotkan. Orang yang suka menunda pasti hatinya sering tak tenang karena sering tergesa. Adrenalin dan jantung terpompa dengan cepat. Pantas jika perangainya grusa-grusu. Naudzubillah....

Kini aku benar-benar menyadari betapa waktu yang diberikan Allah itu singkat sekali. Dalam 24 jam, berapakah waktu yang diberikan untuk Allah? minimal untuk tetap terkoneksi dengan kuat denganNya? 

Rabb...Aku tak pernah tahu berapakah jatah yang Engkau beri. Bisa tahun ini, bulan ini, minggu ini, hari ini, jam ini, menit ini, atau bahkan detik ini. Namun aku mohon Rabbi, berikan sisa usia yang berkah untuk membahagiakan banyak orang. Sadarkan bahwa kehidupan kekal membutuhkan perjuangan yang tak mudah. Khusyukkan shalatku, ringankan langkah dan hatiku menuju kebaikan. Rabbi...Rabbi...I`am yours...

Aih...sebetulnya tulisan ini dibuat sebagai pengingat dan pencubitku jika malas bangun atau menunda-nunda.

Bila karakter baik datangnya dari Allah, maka sudah seharusnya kita memintanya ke Allah. Sang Maestro pemahat diri kita. Semoga diringankan langkah kita untuk menyegerakan serta dilindungi dari sifat malas dan menunda. So, WOLES BRRROOOOOO!!!!!

AlamSemesta, 10072014
-SRSL-

Senin, 07 Juli 2014

Menceracau

Aku seorang pemimpi yang berharap bisa rajin lari pagi. Sebuah impian yang tercatat sejak dua tahun lalu. Impian yang selalu gagal bahkan sebelum terencana. Sepatu kets putih bulukan dan celana training yang berujung pengganti piyama setiap malam, seakan meronta karena tercabut haknya sebagai perangkat olahraga. Alas karet yang semakin mengeras dan lepas.

Aku juga memiliki aquarium berbentuk stoples yang telah pensiun fungsi dan tersimpan tak rapi di atas lemari pakaian. Sudah berapa nyawa yang tinggal di dalamnya. Mulai ikan hias yang hampir setiap minggu ada satu dua yang mati. Terakhir kunyatakan menyerah pada dua ekor kura-kura yang beranjak remaja. Seekor telah mati karena terbatasnya ruang gerak, menyadari semakin berdosa, maka kuputuskan untuk menitipkan pada seorang sahabat untuk dilepaskan ke kolam ikan pekarangan rumahnya. Apa kabar Bags? Pasti cangkangmu semakin besar dan keras. Kuku di selaput jarimu juga pasti semakin panjang dan tajam. Bags, nama kura-kuraku yang tersisa.

Saat masih kecil, aku memiliki seorang teman sekolah dan teman bermain di rumah. Orang tuaku yang berjualan di pasar, membuatku akrab bermain di sekitar pasar saat tak sekolah. Di depan pasar, ada komplek bangunan semacam Plasa yang gagal beroperasi. Setiap sore, aku dan temanku bermain disana. Bersepeda, lari-larian, bersenda gurau maupun tidur bergulung-gulung di pintu masuk yang memang bentuknya naik seperti gundukan. Hampir setiap sore kami menemukan bangkai burung emprit di dekat taman. Bermodalkan ranting kecil, kami berdua menggali sebuah lubang dan menguburkan bangkai di dalamnya. Kemudian, di atas kuburan kami taburkan daun-daun dan rontokan bunga bougenville. Terakhir, kami mendoakan agar arwah burung diterima Allah dengan iringan Surat Al Fatihah. Ah, anak-anak....

Aku bersyukur memiliki sepeda motor bebek tahun 2010-an. Sebuah sepeda motor yang sudah kugambarkan sejak lama warna dan bentuknya, hingga benar-benar terealisasi di tahun 2011. Sepeda yang hampir tidak pernah rewel meski setirnya sedikit bengkok ke kanan. Dia juga tak pernah berontak meski si empunya ini malas memandikan.

Aku masih menyimpan koleksi mainan hadiah dari chiki-chiki sejak jaman eS-De. Mulai koin perak hadiah snack Jari-Jari, pin, crayon tumpuk, kartu gambar Power Rangers, kuku-kuku palsu, gantungan kunci ada loncengnya, sticker blink-blink bentuk huruf, dan masih banyak lagi. Semua kusimpan dalam bekas wadah bedak bayi Rita. 

Aku orang yang suka sayang membuang barang, apalagi jika itu termasuk barang berharga. (Termasuk tiket nonton dan segala hal yang kuanggap bersejarah). Meski pada akhirnya barang-barang tersebut kubuang dengan sendirinya. Hahaha. Siapa yang bisa mengalahkan waktu? Tak terkecuali kenangan. Semua itu absurd, waktulah yang berkuasa. Satu hal yang pasti, bahwa tak ada yang tak pasti. Itu yang kuyakini. 

-SRSL-
AlamSemestaBergejolak, 08072014





Ketika Harus Memilih

Panggilan mereka pada beliau menunjukkan betapa banyaknya usia saya. Seperempat abad kurang dua tahun. Ukuran tubuh yang cenderung mungil, seringkali lupa bahwa sudah setua itu. Bahkan tinggi badan yang tak jauh berbeda dengan anak SMP membuat saya yakin bila masih imut. 

Ko, aku ngerasa belum mencapai apa-apa yah?

Pernah berpikir seperti itu tidak?
Pikiran itu sering kali menjalar liar tak karuan. Bila sudah kelelahan, aku hanya diam tak ingin berkata dan berpikir apa-apa. Terkadang, tidur pulas ialah mimpi yang menjadi nyata.

Menyadari usia Ibu dan Bapak yang tak lagi muda, membuat saya berpikir keras untuk membahagiakan lebih cepat. Tidak mudah, memang. Namun harus.

Bapak tak pernah mengajakku pergi tamasya. Terakhir, waktu masih usia enam tahun. Saat itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Bila temanku yang lain ditemani Ibunya, maka Bapak ialah pria yang setia memanggulku saat kelelahan mengelilingi arena bermain. 

Ibuku lebih memilih di pasar menggantikan tugas bapak berjualan. Entahlah, bila kutangkap, ibu mengalami semacam keminderan berinteraksi. Mungkin lingkungan itu yang menciptakan saya seperti ini. Lebih memiliki banyak teman di luar rumah daripada dekat dengan tetangga.

Ibuku sosok yang suka bercerita, sesungguhnya. Namun, kini aku kehilangan ke"cerewet"an tersebut. Kesibukan kerja dan kuliah yang menyebabkanku harus pulang malam, hanya bisa menemui ibu yang sedang tertidur pulas dengan dengkuran khasnya. Kini ku tahu, dengkuran itu yang kurindu.

Hidup selalu diliputi pilihan. 
Semuanya selalu beresiko. Menimbang tanggungjawab. Kupikir semuanya harus dipertanggungjawabkan. Memilih untuk mabit dengan teman-teman di kampus atau menemani ibu yang sedang sakit. Perih rasanya. Andai tak begitu diperlukan saat acara kemarin, maka aku akan lebih memilih menghabiskan akhir pekan di rumah.

Malam itu kukatakan pada Ibu, "Bu, saya berangkat ya? Nanti jam 22.00 wib saya pulang, jam 02.00 saya berangkat lagi. Kasihan teman-teman, Bu. Butuh semangat untuk tetap berjuang." 

Kulihat Ibu dengan sedih. Ibu yang saat itu tak berhenti menangis menahan sakit, membuatku semakin miris. Ah, andai tubuh ini bisa membelah. Ibu melepasku dengan iya yang dipaksakan. Aku tak tahu, mungkin dalam tangisan itu menetes pula kekecewaan atas sikapku. 

Pukul 21.30 wib.
Kutulis sebuah pesan singkat di notes catatanku untuk seorang teman.
"Mbak, nanti setelah ramah tamah aku pulang. Jam 02.00 balik lagi. Ibu sakit."
Dijawab anggukan yang berarti iya. Tak akan ada alasan yang menolak untuk itu.

Tiba-tiba layar handphone berkedip. "Yang Mulia Bapak" tertera di layarnya.

Aku beranjak keluar masjid untuk mengangkat telepon.

"Assalamu'alaikum... Iya, Pak?"

"Dimana, Nduk? Nda usah pulang, Ibu udah enakan"
Terdengar suara Bapak di seberang, tak lama disusul suara parau Ibu.
"Ibu sudah enakan, nda usah pulang. Lanjutkan dulu kegiatanmu."

Ada rasa bersalah disitu. Bisa jadi itu hanya ungkapan kasihan karena tak tega melihatku bolak-balik di tengah malam. Tak tenang. Masih.

Alhamdulillah, mabit bulan ini sungguh menyulut semangat untuk terus mengajak beribadah bersama. Meski tujuh orang teman sekelas yang menyatakan hadir, namun ternyata hanya satu orang saja yang diberi rezeki sempat. Namun beberapa peserta yang hadir mengajak teman yang lainnya. Jadi, perhitungan awal tercapai 30 orang peserta, Alhamdulillah tercukupi. Semoga diberikan hidayah yang lebih lagi untukmu. Sahabatku yang lain, semoga diberi rezeki sempat. 

Keesokan harinya, aku bergegas pulang untuk melanjutkan kegiatan dengan teman Forum Lingkar Pena. Lagi-lagi aku harus memilih.

Ibu ternyata masih lemas. Ingin sekali kuurungkan untuk tak ikut kegiatan. Namun, mengingat sudah mengiyakan di pembagian tugas kemarin, membuatku tak enak dengan teman yang lain. Berpikir keras dan menimbang-nimbang lagi. 

Akhirnya... Kuputuskan untuk mengikuti kegiatan dengan memastikan pulang jam 13.00 WIB.

Kegiatan tetap berlangsung namun hati tetap tak tenang. Teringat Ibu selalu.

Selepas kegiatan, aku langsung pulang. Kulihat ibu masih menangis kesakitan, kupeluk ibu dan kuajak tidur. Kujanjikan nanti pukul 16.00 sore untuk mengantar berobaT.

Tiba saatnya berobat. Ujian sabar di depan mata, kami harus menunggu antrean sampai pukul 19.00 WIB. Setelah keluar dari ruang periksa, Ibu mendadak terduduk lemas di kursi tunggu. Ibu pingsan! Masya Allah.... Kupeluk ibu, kucoba bangunkan. Sekitar lima menit ibu tak sadar, setelah menunggu ibu benar-benar kuat untuk berjalan, kamipun pulang.

Sesampainya di rumah, Bapak sudah gelisah karena tak dapat menghubungiku, handphone-ku tertinggal di rumah. Apapun yang terjadi, alhamdulillah... syukur atas kasihMu.. Bila tanpa pertolonganMu, tentu tak dapat lagi kupeluk ibu.

Hidup. Ya hidup.
Selalu memilih. Selalu beresiko. Semoga kita semakin bijak dalam mengambil keputusan...

Allah lagi...lagi...dan lagi.

-SRSL-
Alam Semesta, Juni 2014






Senin, 23 Juni 2014

Dewi di Pagi Hari



Pagi ini masih gelap dan basah. Hujan dini hari tadi masih meninggalkan sisa untuk mengawal hari yang kutaksir super sibuk. Seperti kata orang sok bijak dalam status sosial medianya, kusetting sugesti semangat it's monday. money day not monster day

Diiringi lagu Pasti Bisanya Citra Scholastica, kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Hujan tak hanya menyisakan mendung dan basah, namun hawa dingin ikut menjalar pula pada air dalam bak mandi. Aku mulai terbiasa mandi dengan air coklat Bengawan Solo. Menjadi Pegawai Negeri di saah satu instansi pemerintahan Gresik, membuatku harus terbiasa dengan hawa pedesaan. Kantorku di tengah kota, namun Ayah tak mengijinkanku untuk kost. Aku tinggal dengan saudara Ayah yang kupanggil Pakwak, panggilan lain untuk Pakdhe.

Samar-samar terdengar suara tetanggaku meneriaki anak semata wayangnya untuk bergegas mandi. Dewi namanya. Anak yang lincah dan aktif namun pemalu. Dia suka berdiri mengintip di depan pintu ketika aku bermain laptop. Bila tertangkap pandanganku, maka Dewi akan pergi dengan suara cekikikan. 

Pernah suatu sore, saat aku memainkan games di laptop, sengaja kukencangkan musiknya agar Dewi tertarik. Tepat seperti dugaanku, dengan kebiasaannya ia mengintipku yang asyik bermain. Aku berpura-pura tak memperdulikan kehadirannya, hingga akhirnya Dewi memberanikan diri mendekatiku. Kulirik, kembali cekikikan. Kali ini dia tak berusaha lari, dengan meremas kaos bagian bawahnya, malu-malu ia menempel di sofa tampatku duduk.

Kubiarkan saja dia mendekat, “Dewi mau coba main?” tawaranku.
Tawaranku dijawab dengan cengiran manja. Kuarahkan layar monitor kepadanya, dengan malu-malu ia mendekatkan tangannya meraih keyboard. Dewi memang anak yang cerdas. Sedikit saja kujelaskan dia sudah paham. Selanjutnya, ia asyik bermain games Angry Birds.

“Dewi kalau besar mau jadi apa?”
“Kata ustad Ali anak-anak harus jadi anak solehah, Mbak. Aku mau jadi anak solehah” Jawabnya tanpa memalingkan konsentrasi dari laptop.

Dewi seperti anak pada umumnya. Rutinitasnya tak jauh-jauh dari pergi sekolah, bermain dan mengaji. Namun yang membuatku kagum, meski baru berusia delapan tahun, sholat fardhunya tak pernah terlewat sekalipun. Belum lagi semangatnya untuk sholat berjamaah di musholla kecil ujung gang. Pernah sekali, saat itu hujan turun dengan derasnya. Setengah jam sebelum waktunya sholat, Dewi sudah siap untuk bergegas ke Musholla. Dengan mengayuh sepeda usang pemberian tetangganya, ia berlomba melawan hujan. Ibunya kembali meneriaki untuk sholat di rumah saja. Namun, Dewi keukeuh ingin sholat di Musholla. Setelah itu, kulihat dua butir cairan bening jatuh di pipi ibunya. 

Kebiasaan-kebiasaan tak wajar itu seolah menjadi tamparan bagiku. Aku yang mengaku muslimah, berjilbab lebar, berbaju longgar, kemana-mana bawa Al Qur`an di tas. Namun ternyata perjuanganku tak sehebat Dewi dalam menunjukkan rasa cinta. 

Dewi tinggal dengan bapak dan ibunya yang sudah tak pantas untuk memiliki anak seumurannya. Orang yang belum tahu selalu mengira ia adalah cucu mereka. Bapaknya menderita stroke ringan setahun terakhir ini. Sehingga ibunya terpaksa harus bekerja di toko bakery dekat rumahnya. Bapaknya yang sudah senja itu suka gampang marah namun juga gampang menangis, kalau kata orang Jawa menyebut nelongsoan

Ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga, sepertinya mudah menyulut karakter pemarahnya. Apalagi sekarang bertambah dengan sikap curiga dan cemburu pada istrinya. Tak jarang terdengar suara tangisan ibunya Dewi di tengah malam.

Jam tangan biruku telah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kerudung pun sudah terpasang rapi menutup kepala. Kupastikan kembali dandananku di depan cermin lemari kamarku. Tiba-tiba terdengar tangisan histeris melebihi biasa. Aku kenal sekali itu suara ibunya Dewi. Awalnya aku cuek saja, karena kuanggap hanya pertengkaran kecil seperti biasa. 

Selang waktu lima belas menit kemudian terdengar informasi berita duka dari corong Mushola. "Innalillahi wainailaihi raji`un... Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita, Bapak Moh. Akbar...."

Aku mengenal suara itu, suara Pakwak. Kuputuskan untuk keluar berhamburan dengan tetangga yang lain. Ternyata tetanggaku sudah banyak berkumpul karena memang semua warga disini masih terhubung tali saudara. Ibu Dewi tak terlihat, hanya suara tangisnya saja yang menunjukkan ia berada tak jauh dari jenazah suaminya. 

Lalu Dewi dimana?
Ia terlihat lahap menghabiskan sarapan paginya dengan nasi putih dan tempe goreng di teras rumah. Seolah cuek. Ah, anak itu. Keluarga yang melihatnya semakin terharu dengan kepolosannya. Seusai makan ia kembalikan piring bekasnya ke tempat cucian. Lalu meraih tas ransel bututnya. 

"Mau kemana, Nduk?" tanya ibunya saat Dewi berpamitan
"Sekolah, Bu"

Jawaban itu meledakkan kembali suara tangis ibunya. Dewi dengan raut muka yang berubah menjadi bingung, lantas memeluk ibunya sambil berkata, "Sudah, Bu...Sudah. Jangan nangis, Dewi nanti selesai sekolah langsung pulang ke rumah. Sudah ya, cup...cup...cup... jangan menangis." ujarnya polos.

Aku dan orang-orang yang melihat kejadian itu merasa terharu namun juga geli. Dewi benar-benar polos. Seumuran dia, belum paham mengenai kehilangan. Yang ia tahu kematian adalah pergi untuk selamanya. Namun, hanya sekedar tahu tanpa mampu mengerti maksudnya. Larangan ibunya untuk tak berangkat sekolah disambut dengan riang. Ia letakkan kembali atribut sekolah dan berganti dengan pakaian rumahan lalu kembali berlari-lari cekikikan menggoda tetangganya. Ah, Dewi...Semoga kau jadi anak solehah. 

***********************************************
-SRSL-
Alam Semesta, 13062014