Selasa, 07 Januari 2014

Please, Jangan Buka Topengmu!

Tapi buka dulu topengmu
Buka dulu topengmu
Biar ku lihat warnamu
Kan ku lihat warnamu

(Peterpan - Topeng)

Bagiku, setiap wajah adalah topeng. Di dalamnya tersimpan ribuan cadangan topeng yang siap diperankan. Ketika seseorang merasa nyaman dengan kehadiran kita, maka secara otomatis ia setuju dengan topeng yang kita pilih. Begitu juga sebaliknya, jika ia tidak merasa nyaman dengan kita, mungkin ada yang salah dengan topeng yang kita pilih.

Aku selalu percaya bahwa karakter itu pilihan. Bukan takdir. Seperti sandiwara kolosal. Ada lakon antagonis dan protagonis. Tergantung bagaimana kita menyikapi. 

Malaikat diciptakan dari nur (cahaya) sehingga ia ditakdirkan untuk selalu melakukan kebaikan. Setan/iblis diciptakan dari api, simbol kemurkaan untuk ahli dalam kejahatan. Sedangkan, manusia diciptakan dari tanah. Tanah berada di tengah-tengah langit dan bumi, itulah mengapa manusia memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. 




Setiap wajah selalu berlomba-lomba menunjukkan topeng terbaik. Apa yang kita tunjukkan sekarang itu juga topeng. Menjadi pribadi yang tenang, santun, cerdas, cuek, pemarah, temperamen, atau sabar adalah pilihan. 

Aku yakin, bahwa orang-orang yang berkarakter kuat saat ini bukan begitu saja ia meraihnya. Perjalanan mereka pasti sangat panjang. Mulai dari mengenali diri, mengenali orang sekitar, mengaplikasikan hingga pertengkaran batin sudah pasti mengikuti. 

Nda mudah jadi orang baik, Nduk!
Begitu sebuah nasihat seseorang kepadaku. Baiklah, aku dan kamu mungkin bukan orang baik. Bisa jadi orang baik yang dipaksakan. Tapi bukankah kebaikan yang ada di dunia ini adalah kerja sama antara pilihan dan paksaan? Sebut saja habits atau kebiasaan. 

Seringkali aku menemui orang yang berpenampilan tenang, dewasa, santun. Ketika aku coba untuk sharing, ternyata memang tidak semudah itu untuk mencapai titik karakter hebat. Oya, karakter itu bukan faktor keturunan, tapi sudah bisa dipastikan bahwa karakter adalah pengulangan kebiasaan seseorang dari apa yang dilakukan oleh lingkungan. Dalam hal ini, pengaruh terbesar adalah keluarga.

Seorang anak akan memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan orang tua. Jika bapaknya seorang temperamen, bisa dipastikan ia juga temperamen. Begitu juga jika bapaknya seorang yang rajin mengaji, berbicara sopan, dekat dengan anaknya, maka dipastikan anak itu memiliki rasa penyayang lebih subur dari bapaknya. Istilah orang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. 

Mengapa begitu?
Karena seorang anak berkiblat pada kebiasaan dan penerimaan yang diperoleh dari orang tua. Semua orang juga setuju jika lingkungan sosial pertama yang dimiliki seorang anak adalah keluarga. 

Dulu sekali, waktu aku akan pergi lomba pramuka. Kami naik sebuah truk menuju lokasi lomba. Kebetulan aku duduk di samping pak sopir. Saat itu, pak sopir bercerita mengenai anaknya yang masih sekolah, sebuah nasihat meluncur "Jika kamu tidak merubah pola pikir, maka kamu akan menjadi seperti bapak. Seorang sopir. Tapi kamu harus berkembang dengan kemampuanmu, jangan matikan pikiran hanya karena menyerah pada keturunan dan silsilah keluarga.". "Coba lihat anak kecil di seberang jalan itu. Sejak kecil ia sudah dibiasakan untuk meminta, ketika besar kemungkinan besar ia juga akan menjadi seperti bapaknya jika tak mau menggunakan pikirannya."

Ada pula seorang teman yang menurut teman lain, ia orang yang sangat menyebalkan, kekanak-kanakan, celometan, bicara ngawur, mau menang sendiri. Suatu ketika aku bertemu dengan adiknya, dan ternyata karakternya juga tidak jauh berbeda. Hanya dengan versi sedikit berbeda, tapi dasarnya sama. Pengamatan tidak berhenti pada adiknya, tapi aku perhatikan juga sikap ibunya. Owh...memang betul, ia benar-benar terbentuk oleh karakter keluarga. Saat itu aku hanya sekilas saja melihatnya, tapi dari cara ibunya memperlakukan tamu (kami, teman-temannya) terlihat sekali bagaimana perlakuan yang sama pula yang diterima anaknya, temanku. Kalau boleh disimpulkan, temanku ini membutuhkan pengakuan dari dunia luar, karena ketika di rumah ia masih diperlakukan seperti anak kecil. 

Oleh karena keluarga berandil penuh terhadap karakter seseorang, maka pengamatanku dilanjutkan dengan mengenali keluargaku. Bapakku, ibuku, kakak-kakakku. Disitu aku tahu, beberapa sifatku dominan ke bapak atau ke ibu. Bapak yang pekerja keras, humoris, dan mandiri sedikit tertular kepadaku. Ibuku yang penyayang, mudah tersentuh, bawel, keras kepala dan suka menyanyi juga tertular kepadaku. 

Hasil pengamatan tidak selalu terfokus pada sikap positifnya saja, tapi sikap negatif justru harus disorot besar. Sifat negatif adalah tunas karakter seseorang. Bila sikap negatif di-habitskan, maka bersiaplah untuk menjadi manusia paling menyebalkan. 

Setiap pagi aku selalu berdoa, 
"Ya Allah...pertemukan aku dengan orang baik dan orang belum baik yang bisa membaikkan aku."
Karena aku percaya, tidak ada orang baik dan orang buruk. Yang ada hanya orang baik dan belum baik. Mereka sama-sama memberikan kesempatan untuk kita belajar mengenali diri. Saat melihat orang baik, dalam benak berkata, aku harus bisa seperti itu. Begitu juga sebaliknya, aku jangan seperti itu, karena seperti ini rasanya dibegitukan.

Aku pribadi tidak begitu setuju akan nasihat "Be Yourself"
Menjadi diri sendiri itu baik, jika mempertahankan sifat baik. Namun menjadi tidak baik ketika yang ditonjolkan adalah sifat atau kebiasaan tidak baik. 

Aku juga kurang setuju pada ungkapan, "terimalah aku apa adanya". Masa iya, orang lain harus rela menerima sikap kita yang pemarah, pemalas, tak bertanggungjawab, iseng, rese, celometan, suka mencela atau suka datang terlambat?  Tentu tidak bukan?

Selalu ada hal yang dikorbankan untuk memperoleh kebaikan. Mungkin kita harus sering bertengkar dengan sikap atau habits lama untuk mencapai habits baru yang lebih baik. Tapi, tidak ada yang sia-sia kan jika itu berdampak respon positif lingkungan untuk kita? 

Islam mengajarkan kita untuk selalu meluangkan waktu khusus bermuhasabah. Bisa setelah sholat, sebelum tidur maupun di tengah malam. 10 - 20 menit saja, coba dirunut apa saja yang sudah dilakukan hari ini. Mulai dari bangun hingga menjelang tidur. Bayangkan kita menonton tayangan diri kita hari ini. Perhatikan juga sikap yang kita beri ke orang lain. Mungkin ada kata yang menyakitkan, raut wajah yang menyebalkan, sikap yang merendahkan. Gali terus. Rasakan, pasti ada rasa tak nyaman ketika kita mengingat perlakuan tak baik terhadap orang lain. Bagus, gunakan itu sebagai dasar untuk memposisikan diri sebagai orang yang kita sakiti. Dengan begitu, InsyaAllah kita lebih berhati-hati.

Baiklah, biar ku ulang. Setiap wajah adalah topeng terbaik dari diri. Kenapa begitu? karena jika kita buka topeng sedikit saja, mungkin tidak akan ada yang mau berkawan dengan kita. Pilih dan tempatkan topeng sesuai porsinya. Allah saja sudah menutupi aib kita, masa kita dengan gamblangnya membocorkan sendiri keburukan kita? Hidup ini hanya sekali, jangan pernah disia-siakan. Nikmati apa yang dimiliki dan tetap perbaiki diri. Ayo senyum. ^_^