Pagi
ini masih gelap dan basah. Hujan dini hari tadi masih meninggalkan sisa untuk
mengawal hari yang kutaksir super sibuk. Seperti kata orang sok bijak dalam
status sosial medianya, kusetting sugesti semangat it's monday. money day
not monster day.
Diiringi
lagu Pasti Bisanya Citra Scholastica, kuayunkan langkah menuju kamar mandi.
Hujan tak hanya menyisakan mendung dan basah, namun hawa dingin ikut menjalar
pula pada air dalam bak mandi. Aku mulai terbiasa mandi dengan air coklat Bengawan
Solo. Menjadi Pegawai Negeri di saah satu instansi pemerintahan Gresik,
membuatku harus terbiasa dengan hawa pedesaan. Kantorku di tengah kota, namun
Ayah tak mengijinkanku untuk kost. Aku tinggal dengan saudara Ayah yang
kupanggil Pakwak, panggilan lain untuk Pakdhe.
Samar-samar
terdengar suara tetanggaku meneriaki anak semata wayangnya untuk bergegas
mandi. Dewi namanya. Anak yang lincah dan aktif namun pemalu. Dia suka berdiri
mengintip di depan pintu ketika aku bermain laptop. Bila tertangkap pandanganku,
maka Dewi akan pergi dengan suara cekikikan.
Pernah
suatu sore, saat aku memainkan games di
laptop, sengaja kukencangkan musiknya agar Dewi tertarik. Tepat seperti
dugaanku, dengan kebiasaannya ia mengintipku yang asyik bermain. Aku
berpura-pura tak memperdulikan kehadirannya, hingga akhirnya Dewi memberanikan
diri mendekatiku. Kulirik, kembali cekikikan. Kali ini dia tak berusaha lari,
dengan meremas kaos bagian bawahnya, malu-malu ia menempel di sofa tampatku
duduk.
Kubiarkan
saja dia mendekat, “Dewi mau coba main?” tawaranku.
Tawaranku
dijawab dengan cengiran manja. Kuarahkan layar monitor kepadanya, dengan
malu-malu ia mendekatkan tangannya meraih keyboard. Dewi memang anak yang
cerdas. Sedikit saja kujelaskan dia sudah paham. Selanjutnya, ia asyik bermain games Angry Birds.
“Dewi
kalau besar mau jadi apa?”
“Kata
ustad Ali anak-anak harus jadi anak solehah, Mbak. Aku mau jadi anak solehah”
Jawabnya tanpa memalingkan konsentrasi dari laptop.
Dewi
seperti anak pada umumnya. Rutinitasnya tak jauh-jauh dari pergi sekolah,
bermain dan mengaji. Namun yang membuatku kagum, meski baru berusia delapan
tahun, sholat fardhunya tak pernah terlewat sekalipun. Belum lagi semangatnya
untuk sholat berjamaah di musholla kecil ujung gang. Pernah sekali, saat itu
hujan turun dengan derasnya. Setengah jam sebelum waktunya sholat, Dewi sudah
siap untuk bergegas ke Musholla. Dengan mengayuh sepeda usang pemberian
tetangganya, ia berlomba melawan hujan. Ibunya kembali meneriaki untuk sholat
di rumah saja. Namun, Dewi keukeuh ingin sholat di Musholla. Setelah
itu, kulihat dua butir cairan bening jatuh di pipi ibunya.
Kebiasaan-kebiasaan
tak wajar itu seolah menjadi tamparan bagiku. Aku yang mengaku muslimah,
berjilbab lebar, berbaju longgar, kemana-mana bawa Al Qur`an di tas. Namun
ternyata perjuanganku tak sehebat Dewi dalam menunjukkan rasa cinta.
Dewi
tinggal dengan bapak dan ibunya yang sudah tak pantas untuk memiliki anak
seumurannya. Orang yang belum tahu selalu mengira ia adalah cucu mereka.
Bapaknya menderita stroke ringan setahun terakhir ini. Sehingga ibunya
terpaksa harus bekerja di toko bakery dekat rumahnya. Bapaknya yang
sudah senja itu suka gampang marah namun juga gampang menangis, kalau kata
orang Jawa menyebut nelongsoan.
Ketidakmampuannya
dalam memenuhi kebutuhan keluarga, sepertinya mudah menyulut karakter
pemarahnya. Apalagi sekarang bertambah dengan sikap curiga dan cemburu pada
istrinya. Tak jarang terdengar suara tangisan ibunya Dewi di tengah malam.
Jam
tangan biruku telah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kerudung pun sudah terpasang
rapi menutup kepala. Kupastikan kembali dandananku di depan cermin lemari
kamarku. Tiba-tiba terdengar tangisan histeris melebihi biasa. Aku kenal sekali
itu suara ibunya Dewi. Awalnya aku cuek saja, karena kuanggap hanya
pertengkaran kecil seperti biasa.
Selang
waktu lima belas menit kemudian terdengar informasi berita duka dari corong
Mushola. "Innalillahi wainailaihi raji`un... Telah berpulang ke
rahmatullah saudara kita, Bapak Moh. Akbar...."
Aku
mengenal suara itu, suara Pakwak. Kuputuskan untuk keluar berhamburan dengan
tetangga yang lain. Ternyata tetanggaku sudah banyak berkumpul karena memang
semua warga disini masih terhubung tali saudara. Ibu Dewi tak terlihat, hanya
suara tangisnya saja yang menunjukkan ia berada tak jauh dari jenazah
suaminya.
Lalu
Dewi dimana?
Ia
terlihat lahap menghabiskan sarapan paginya dengan nasi putih dan tempe goreng
di teras rumah. Seolah cuek. Ah, anak itu. Keluarga yang melihatnya semakin
terharu dengan kepolosannya. Seusai makan ia kembalikan piring bekasnya ke
tempat cucian. Lalu meraih tas ransel bututnya.
"Mau
kemana, Nduk?" tanya ibunya saat Dewi berpamitan
"Sekolah,
Bu"
Jawaban
itu meledakkan kembali suara tangis ibunya. Dewi dengan raut muka yang berubah
menjadi bingung, lantas memeluk ibunya sambil berkata, "Sudah, Bu...Sudah.
Jangan nangis, Dewi nanti selesai sekolah langsung pulang ke rumah. Sudah ya,
cup...cup...cup... jangan menangis." ujarnya polos.
Aku
dan orang-orang yang melihat kejadian itu merasa terharu namun juga geli. Dewi
benar-benar polos. Seumuran dia, belum paham mengenai kehilangan. Yang ia tahu
kematian adalah pergi untuk selamanya. Namun, hanya sekedar tahu tanpa mampu
mengerti maksudnya. Larangan ibunya untuk tak berangkat sekolah disambut dengan
riang. Ia letakkan kembali atribut sekolah dan berganti dengan pakaian rumahan
lalu kembali berlari-lari cekikikan menggoda tetangganya. Ah, Dewi...Semoga kau
jadi anak solehah.
***********************************************
-SRSL-
Alam Semesta, 13062014