Selasa, 26 Agustus 2014

Siapa Pemberi Jawaban?

"Jangan pernah kau merasa dirimu tak sanggup menghadapi. Mintalah kepada yang disana, hingga terbuka hatimu dalam menjalani kehidupan ini..."
-Sabila, Mintalah-

Kata orang bijak, hidup ini hanya sebatas berteduh untuk minum. Semakin kita mengejar, semakin kita tertinggal. Apakah kamu pernah merasakan keraguan atas pilihan? Ya, pasti sering dan hampir selalu iya. 

Mentari pagi ialah tanda adanya kehidupan yang harus diperjuangkan. Saat bangun seharusnya kita bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan memperbaiki kesalahan. Namun, seringkali aku merasa ketakutan saat bangun tidur. Berdoa untuk dimatikan kadang terasa jauh lebih baik. "Rabbi, bila berdetaknya jantungku hanya membuat diriku menjadi hamba yang ingkar, maka matikan aku sekarang, aku ingin mati dalam keadaan Islam."
 
Jawaban atas pilihan adalah bagian dari skenario Allah. Lantas kepada siapa lagi meminta petunjuk jika bukan kepadaNya? Allah adalah penyimpan rahasia terbaik. Maka, hanya Allah yang berhak mendengar keluh kesah hambaNya, bukan hamba kepada hamba. 

Jawaban tersebut bisa jadi kita anggap baik, namun belum tentu disambut baik juga oleh orang lain. Bisa jadi sebaliknya, kita tak menginginkan namun terkadang baik di mata orang lain. Tentunya ada pertimbangan lain untuk meyakinkan pilihan. Entah itu melanjutkan atau menghentikan pilihan.

Bila sudah begitu, maka kembalikan pada Allah sebagai pemberi keputusan terbijak. Apapun hasilnya, pasti yang terbaik. Saat menghadapi sesuatu yang berbenturan dengan keinginan, maka keikhlasan hanya perkara waktu. Jangan bersedih, ada Allah bersama kita.

SRSL
Kayun, 27082014

Selasa, 12 Agustus 2014

Mentari Boleh Bersinar Kembali


Sepoi angin di atas jembatan yang melengkung di tengah danau, tak mampu mendamaikan hati dua insan. Aida, dengan suara tegasnya tak mampu menyembunyikan keparauan hatinya. Pandangan mata lemah yang tak mampu menatap sepasang mata pria yang ditemuinya tujuh tahun lalu itu. Mata bulat dan hangat yang dulu tak pernah lepas dari tatapannya. Sorot mata yang bermukim di imaji senjanya.

Digigit kedua bibirnya ketika meyakini suara parau yang akan keluar. Menahan dengan sekuat tenaga untuk tak lemah dihadapannya. Aida masih dengan mata menerawang ke arah langit, berusaha menegakkan tubuh. 

"Aku ingin menikah denganmu..."

"Sungguh, kalimat yang kunanti, namun bukan untuk detik ini. Aida lima tahun dulu yang berhak. Tak untuk Aida yang sekarang. Pergilah."

"Apakah sepasang mawar yang kita tanam tak boleh melihatku menepati janjiku untukmu?"

"Pergilah, aku sudah mengikhlaskanmu, bahkan sebelum mentari terbit kembali..."