Kamis, 11 September 2014

Tak Masalah, Hamasah!

Putaran detik yang tak pernah peduli pada siapa yang merampasnya. Setiap gerakan detik menimbulkan masalah baru, bagi yang menganggapnya masalah. Masalah pun tak pilih kasih. Tak pernah peduli kau anak siapa, umur berapa, berapa hartamu, apa prestasimu. Tak akan pernah pilih kasih. 

Beda wajah beda nasib pun beda masalahnya. Masalah ada untuk tak disalahkan. Mungkin dadamu terasa sesak, kedua tangan dan kakimu dingin, bahkan jantungmu berdetak lebih cepat. Saat seperti itu, siapa yang kau tunggu? Waktulah yang berkuasa. Ia selalu konsisten, tak mau lebih cepat atau melambat. Lantas apa yang akan kau pinta? Memintanya berlari sprint berharap masalahmu segera berlalu? 

Aku rasa tak semudah itu. Masalah ada untuk ditaklukkan. Penguat serta pengenal diri. Kau bahkan tak pernah sanggup melihat kulit punggungmu tanpa bantuan kaca. Lantas, apakah kau sebut sudah mengenal dirimu? Sebutlah AKU. Siapakah aku? Baiklah, kuberikan jawaban terbaik. Aku adalah Tari beberapa memanggilku Rahayu. Keduanya sama-sama kusuka. Aku lahir dua puluh tiga tahun yang lalu. Di sebuah kota kecil Jawa Timur. Aku menyukai biru. Aku adalah orang ekstrovert. Bintangku Libra. Penggila sambal. Suka membaca. Suka menyanyi.




Yups... Itulah jawaban terbaik bila kau minta kumengisi biodata. 

Tapi, ternyata tak cukup itu untuk menjawab SIAPA AKU?
Barangkali aku termasuk orang yang terlambat mengenal siapa aku. Memahami bahwa aku seorang ekstrovert yang cenderung negatif saja baru-baru ini kuketahui. Sekali lagi, jilbab menunjukkan bagaimana perempuan seharusnya. 

Kenyataan bahwa perang paling hebat ialah memerangi diri sendiri patut kuiyakan dengan segenap hati.  Selanjutnya, secara beruntun ditunjukkan sifat-sifat jelek. Kadar sensitifitasku juga semakin meninggi. Mudah sekali menangkap radar keburukan dalam diri. Aku memang pengamat orang, namun ternyata belum benar-benar mampu membaca orang lain.

Saat bertemu dengan sifat buruk kembali rasa tak enak hati timbul kembali. Seringkali tanpa sadar aku nyeletuk, "owh, ternyata aku seperti ini". Sungguh...pertempuran terhebat adalah melawan diri sendiri. Ketika aku memulai pribadi baruku di lingkungan yang baru, mereka menyambutnya dengan baik. Tapi, saat kembali ke lingkungan lama cenderung aku kembali pada pribadi buruk. Selepasnya, hanya bisa istighfar dan minta dikuatkan untuk mengalahkan keburukan diri. 

Seseorang pernah bertanya, "nyamankah dengan kepribadianmu yang sekarang?"
Aku menjawab, sangat nyaman. Meski memang harus berjuang di awal. Baiklah, aku teringat materi empat kepribadian saat Pramuka dulu. Disitulah awal mula aku mencari tahu apa yang dimaksud. 

Sebagian besar sikapku mengarah pada ekstrovert. Pembawaan yang rame, berisik, pencilakan, suka tampil. Memang tak semuanya negatif namun semakin aku tahu semakin aku merasa tak nyaman dengan sifat dasarku. 

Kata Kak Erry, pembina Pramukaku dulu, "kalau bisa jangan stagnant pada satu jenis kepribadian. Tapi optimalkan nilai positif dari sifat dasarmu dan bergeraklah menyeberang pada kepribadian yang lain. Ambil yang baik dan cocok untukmu."

Aku pegang betul pesan itu. Tanpa sadar, para pembina pramukaku di SMP dulu sangat berjasa mengenalkan siapa aku. Semoga keberkahan melimpahi hidupnya. Aamiin.

Tak jarang aku merasa memiliki berbagai topeng kepribadian. Namun, ingatlah saat kamu bertemu dengan orang bermuka dua, jangan langsung suudzan ya? Bisa jadi saat itu ia sedang berjuang melawan sifat buruknya.

Jadi, tak masalah, hamasah Tari!

Selasa, 02 September 2014

MENUNGGU ITU MENYEBALKAN

Menunggu adalah hal yang menyebalkan. Setidaknya untuk sebagian orang, termasuk saya. 

Pagi itu, saya janjian sama teman untuk menitipkan barang dagangan yang akan dijual di Car Free Day Bungkul. Kami janjian pukul 06.00. Lewat beberapa menit saya sampai di lokasi. Coba membuka handphone masih belum ada balasan. Parahnya, handphone yang saya bawa keduanya lowbath. Walhasil saya harus menunggu dengan harap-harap cemas. 

Mengenakan bebidol coklat sambil duduk di atas motor di pinggir jalan. Sesekali melirik kaca spion di kiri dan kanan, berharap muncul sosok yang saya tunggu. Sepertinya tiga puluh menit lebih saya menunggu. 

Sempat terlintas ingin meninggalkan saja saat menunggu. Namun, tiba-tiba muncul pemahaman "Ayo belajar sabar!" Akhirnya, saya pun memutuskan untuk menunggu. 

Entahlah pagi itu saya kuat sekali ingin menunggu. Rasanya seperti merindukan perjuangan mengalahkan ego. Sambil memasukkan beberapa pikiran positif yang ternyata memang membuat hati lebih nyaman. 

Saya memiliki kepribadian ekstrovert - melankolis. Saat bersama orang lain, saya "tampak" rame dan menyenangkan. Namun, berbeda ketika sendiri. Sebetulnya, saya tipe orang yang suka berbicara dengan diri sendiri. Belakangan, baru saya ketahui itu istilah lain dari muhasabah. 

Seringkali saat sendiri, saya putar ulang kembali film yang telah lalu. Bila timbul gelisah atau rasa tak enak, itu artinya saya melakukan kesalahan. Astaghfirullah...

Saya juga tipe pemikir. Segala hal yang saya pikir, mudah sekali bercabang. Belum tuntas pada satu hal, fokus saya sudah bercabang lagi.  Terkadang saya kewalahan juga menghadapinya. Salah satu kelebihan orang ekstrovert, ide kreatifnya selalu jalan.

Namun, seringkali saya merasa iri dengan orang yang pemikirannya sederhana saja. Menjalani segala hal dengan mengalir begitu saja. Teman saya bilang kalau saya tipikal orang yang detail.  Segala hal dipikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi.

Kembali pada topik menunggu. Saat menunggu, saya memiliki beberapa waktu untuk tidak terikat pada rutinitas. Saat bepergian saya suka membawa tas dan menyimpan buku di dalamnya. Sebuah hadits bilang, "Sebaik-baiknya teman menunggu adalah buku yang dibaca".

Saat menunggu itulah, saya bebas bermuhasabah. Merenungkan sejenak apa yang sudah saya lalui. Saya merasa itulah waktu ter-romantis untuk bermesraan denganNya. Lambat laun saya memiliki kebiasaan mengajak Allah berdialog. Secara zahir memang tampak seperti dialog satu arah. Tapi, setelahnya saya selalu merasakan kelegaan bahkan jawaban berupa solusi yang melintas dalam pikiran saya. Allah, terima kasih telah menumbuhkan kepekaan dalam diri ini.

Saat menunggu juga, terlintas sebuah pemahaman... 

"Allah, terima kasih. Mungkin kau takdirkan saya menunggu lama seperti ini. Namun saya yakin, ini adalah yang terbaik"


Saat Allah menetapkan sesuatu, percayalah itu yang terbaik. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi. Namun itu pasti yang terbaik dari yang terbaik. Siapa tahu, Allah menahan langkah untuk menghindarkan kita dari segala hal buruk. Allah lebih tahu dari yang kau tahu. Tak perlu risau mencari alasannya, karena waktu yang selalu menang untuk menjelaskannya.

SRSL
Kayun, 02092014