Senin, 18 Mei 2015

Aku Belajar



Aku belajar diam meski kesempatan berbicara itu terbuka lebar
Aku belajar tenang meski isi hati bergejolak
Aku belajar sabar meski ego dalam diri membuncah
Aku belajar bersikap sewajarnya meski dapat menangis dan tertawa sepuasnya

Aku belajar menerima meski susah
Aku belajar percaya meski tak mudah
Aku belajar kuat meski begitu rapuh
Aku belajar ceria meski ada alasan untuk berduka

Aku belajar mendengar meski mampu berkata kembali
Aku belajar memintakan taubat atas diriku meski aku tak tahu dimana salahku
Aku belajar memaafkan meski sakit dada ini
Aku belajar memberi meski semua terbatas
Aku belajar ikhlas meski hati berontak
Aku belajar menyayangi meski tak terima dengan perlakuan
Aku belajar meminta maaf meski tak selalu ada kesalahan pada diri
Aku belajar mendahulukan orang lain meski diri ini membutuhkan
Aku belajar untuk memahami, mengerti, dan menerima apa-apa yang sudah Allah tuliskan…
Setiap kejadian ialah baik. Sebabnya, pada setiap tangis dan tawa itulah kita belajar….

Semolowaru,19052015
SRSL

Jumat, 15 Mei 2015

Memberi dan Menerima

Sebuah nasihat berkata, lebih baik tangan di atas daripada di bawah. Memberi itu lebih baik dari menerima.

Ada yang menarik ketika memberi, ada rasa senang dan puas. Bersyukurlah bila hati ini terpaut ingin memberi terus daripada berharap pada makhluk. Ungkapan meminta memang pantasnya kepada Allah. Bercanda traktiran dan lain sebagainya, bila sudah berlebih maka dapat mengeraskan hati. 

Berharap pada makhluk hanya menimbulkan kecewa. Apa yang diminta jika yang diharapkan pun masih mengharap dari yang lain?

Orang yang memberi akan merasa kaya, karena merasa mampu. Ya, mampu dalam keadaan apapun. Puncaknya ialah mengalahkan ego untuk menjauhkan diri dari kekikiran. Namun, pernahkah berpikir bahwa ketika memberi sebenarnya kita menerima? Bukankah tak semua orang dapat menerima pemberian? Hingga kusadari, bahwa rejeki sebenarnya ialah kelapangan untuk berbuat baik. Dimana itu semua ialah pemberian. Ya, memberi itu menerima. Menerima peluang untuk beramal.

SRSL, 16052015, 13:00

Minggu, 03 Mei 2015

Lalu, Aku Siapa?

Dia yang kehilangan jati diri laksana singa yang lupa tugasnya bahwa ia seekor raja hutan. Terkungkung dalam sangkar, hingga tak tahu fungsi cakar dan taringnya yang tajam. Begitulah diri ini. Bila tak mencoba maka tak akan tahu rahasia di baliknya. Akan tetapi tak segala hal boleh dicoba. Selalu lakukan pemikiran dan pengukuran. Tersebab, tak sama kemampuan dalam setiap orang. Jangan sampai hal yang seharusnya mudah, justru kita tinggalkan karena melihat orang lain terlihat lebih mudah melakukan hal lain. Saya adalah saya. Memiliki keunikan untuk memerankan setiap peran. 

Dalam diri ini terdapat ruang kelebihan dan kekurangan. Mungkin karena itu kita dicipta tak sendirian. Sebabnya, ada ruang kosong dalam ketidakmampuan orang lain yang bisa kita lakukan dengan kelebihan kita. Begitu pun sebaliknya, dalam kemampuan orang lain ada ketidakmampuan dalam diri. Saling mengisi, itulah kehidupan. 

Bila mengingat pada bagaimana kita bermula dan seperti apa kita berakhir, pantaskah terlahir kesombongan dalam diri ini wahai diri?

Keluarga

Adalah keluarga yang menjadi lembaran pembuka jati diri seseorang. Seberapa besar pengaruh lingkungan luar, lingkungan keluarga tetaplah yang utama. Terutama peran orang tua. Ungkapan buah jatuh tak jatuh dari pohonnya, bagiku itu tepat sekali. 

Saya suka mengamati orang lain. Seringkali tanpa sadar ketika ada orang asing, kuperhatikan hingga detail. Mungkin ketika ketahuan, orang tersebut menjadi risih. Sesekali membandingkan seorang anak dalam pangkuan ibunya, mencari kemiripan. Bahkan pasangan suami istri maupun pemuda. Entahlah, seringkali saya menandai kemiripan seseorang dari bentuk hidung. Emm...sebetulnya ini bukan kebiasaan yang baik, jadi jangan ditiru. 

Selain mengamati bentu wajah, bentuk tubuh, saya juga tertarik pada kesamaan sifat. Cara berbicaranya, cara berfikir, kehidupan sehari-hari, kebiasaannya. Anak yang terdidik oleh keluarga yang suka membaca, kemungkinan besar akan memiliki kesukaan yang sama. Begitupun dengan anak yang terdidik oleh orang tua yang suka berbicara kasar, maka sahut-sahutan anak-bapak-ibu dengan ungkapan tak sopan adalah pemandangan yang wajar. 

Maka beruntunglah kamu yang terdidik oleh keluarga yang luar biasa. Orang tua yang pandai membesarkan hati. Yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anaknya. Mengajarkan kesederhanaan dan nikmatnya bersyukur. 

Kenyataannya, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama. Ada yang harus kehilangan ayah atau ibunya saat usia kecil, bisa juga kedua orang tua masih ada, namun salah satunya memiliki gangguan kejiwaan atau bahkan memiliki orang tua utuh yang tak berusaha menanamkan kedekatan pada anak. Namun, dalam diri orang-orang inilah kutemukan kekuatan yang setegar karang. Tak pernah mengeluh pun jua tak mengharap belas kasih. Tetap berdiri dengan penuh percaya diri dan meyakini bahwa dia mampu. 

Well, masihkah kamu mengeluhkan kondisi ayahmu, ibumu, saudaramu, keluargamu? Memang kita tak pernah bisa memilih dilahirkan di rahim mana, namun kita memiliki kesempatan untuk menjadi orang tua yang seperti apa. Sebabnya, kualitas seorang anak adalah cerminan orang tua. Memang ada banyak orang yang terdidik dengan baik dari lingkungan luar, tapi bukankah kewajiban orang tua ialah menjadi madrasah bagi setiap anak?