Senin, 25 Februari 2013

Terbang Bersama Asa

Berbicara tentang cita-cita, aku yakin kamu juga punya sejuta cita-cita yang hampir setiap detik berubah. Sama sepertiku, waktu duduk di kelas 2 SD aku ingin menjadi seorang Polwan. Terbius foto kakak sepupuku yang mengenakan baju kebesarannya dengan gagah. Tapi, keinginan itu menguap seketika ketika aku mengagumi Bu Guru SD ku. Saat itu juga aku ingin menjadi Guru. Seorang guru yang memiliki banyak anak didik, yang mendidik dengan kesabaran, keikhlasan dan penuh kasih. Hebatnya seorang guru, yang bisa mendidik banyak anak dari berbagai kalangan dan latar belakang. 

Pupusnya harapanku untuk menjadi seorang Polwan bukan tanpa alasan, beranjak dewasa semakin meyakinkanku untuk tak berambisi menjadi seorang Polwan. Bukan apa-apa, hanya sedikit pikiran tak terhormat yang beranggapan bahwa seorang polwan dilarang keras bertubuh mungil. :-D

Sebegitu kurang ajarnya pikiranku. Jujur saja, aku sering terpukau melihat Polwan yang bertugas. Andai waktu itu ku kerahkan keringat untuk menggapainya, mungkin saat ini sudah terpajang foto dengan seragam kebesaran. Tapi, bukan penyesalan namanya jika ia hadir lebih awal. 

Bertambahnya usia, membuatku berpikir untuk lebih bijak dan mantap dalam memilih. Cita-cita bukan sekedar ambisi yang harus ditarget dan dikejar dengan sekuatnya, akan tetapi  hidup dengan perbekalan yang baik bagi kehidupan abadi adalah cita-cita yang maha sempurna. 

Setiap kehidupan berujung pada kematian, tak memandang kau berkeyakinan maupun tidak. Berpedoman bahwa hiduplah untuk saat ini dan anggaplah besok kau akan mati. Kalimat itu bukan sekedar kalimat penghias diary, tapi itu sebuah imun hebat. Coba resapi, dan kau akan paham untuk apa kau hidup.

Meskipun cita-cita terhebatku adalah menjadi hamba yang dinanti Rasul dalam Surga Firdaus-Nya, bukan berarti mengikatku untuk tak berambisi meninggalkan jejak dibumi ini. Gagal menjadi Polwan, membuatku bercita-cita menjadi guru. 

Bagiku, guru bukan hanya seorang yang mengajar dengan ruang kelas ber-ac, berpapan tulis, berseragam coklat, dan berbangku rapih lengkap dengan meja berjajarnya, tapi ia yang mengemban dan melunasi janji negara untuk membebaskan putra-putri bangsa dari kebodohan.

Membagi ilmu tidak harus memiliki SK yang menjelaskan bahwa kau seorang pengajar. Sungguh tak patut sekali jika kutemui seorang guru yang hanya menjadikan kegiatan mengajar bagi suatu profesi belaka. Ikhlasnya niat menggiring ilmu terserap dan terpatri dalam ubun-ubun memori. Itulah mengapa istilah mengajar dengan mendidik itu berbeda. Jika mengajar, kau hanya memberi ilmu tak peduli ilmu itu sampai atau tidak, sedangkan mendidik itu kau mengajar dan membimbing anak didikmu sampai ia paham dan mengerti.

Aku ingin sekali, bisa berbagi ilmu pada wajah anak-anak yang haus akan ilmu. Aku rindu dengan suasana kelas yang riuh rendah dengan celotehan para siswa. Masa sekolah, yang mungkin tak semua orang  dapat tersentuh  oleh pendidikan. Aku janji, suatu hari nanti akan ku tunaikan janji kemerdekaan dalam pendidikan. 

Impian terbesarku, memiliki sebuah pesantren gratis untuk kalangan tak mampu. Nantinya, santriwan santriwati itu akan dibekali dengan ilmu keahlian agar bisa hidup mandiri, sehingga ia tak perlu bekerja menjadi karyawan dalam perusahaan asing, tapi malah menjadi bos kecil dengan nuansa Islaminya. Setidaknya, rumahku nanti akan teramaikan dengan adanya satu ruangan khusus bagi anak-anak kecil yang ingin belajar mengaji.

Semoga ini tidak sekedar tulisan jelek atau impian liar yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar