Rabu, 20 November 2013

Cerpen - RINDU RINA

Namanya Rina. Kulitnya kuning langsat, alis tebal, mata bulat dengan tatapan tajam. Gadis ini, lima belas tahun usianya, selalu riang seelok namanya. Rina suka sekali pada hujan. Baginya, hujan adalah kenangan yang tersibak. Menikmati hujan adalah elegi. Tapi dia suka. Begitu banyak kenangan tak menyenangkan saat hujan. Kenangan Ibunya yang tertabrak mobil mewah pada saat hujan deras, atau kesedihan ketika ia kehilangan kucing kesayangannya. Semua terjadi kala hujan. Tapi entah, dia tetap suka.




Diliriknya kalender bergambar Doraemon di meja belajarnya, Nopember. Ah, mengapa tak kunjung datang juga? Desisnya. Cuaca yang tak pasti, membuat rindunya kian menjadi. Rindu pada tetesan hujan di ujung jilbabnya, rindu pada aroma tanah yang tersiram air hujan, pun rindu pada semerbak wangi melati.



Sekali lagi, diliriknya kalender. Harusnya sudah datang. Menurut ramalan cuaca di koran kemarin, direncanakan kau datang di bulan ini. Mengapa hanya janji semu? Kau wakilkan mendung tanpa setetes pun air terjatuh. Aku rindu. Rindu bukan buatan. Ah, tak kunjung hadir hujanmu. Tapi mengapa hujan di kelopak mataku tak mampu ku tahan?

----------------------------------------------------------------------------------------
Sidoarjo, 10 Dzulhijjah 1434 H
Cerpen kembangan dari puisi Rindu Rina
Rahayu Lestary

Puisi - RINDU RINA

Menatap langit, masih ku lihat senja keemasan
Ku lihat deretan angka dalam kalender
Selamat datang Nopember
Bulan kesebelas dari dua belas

Aku rindu aroma tanah yang tersiram hujan
Aku rindu semerbak wangi melati
Sesekali ku lihat kembali kalender

Nopember, tak kunjung hadir hujanmu
Tapi mengapa hujan di kelopak mataku tak mampu ku tahan? 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surabaya, 29 Dzulqa`dah 1434H
Rumca Az-Zahra Telkom Ketintang
Tugas puisi di Seminar dan Open Recruitmen FLP Surabaya
Rahayu Lestary


Senin, 18 November 2013

Berpuisi Bareng FLP Surabaya

Pertemuan pertama seleksi anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Surabaya di pekan kedua bulan Nopember 2013, bertepatan tanggal 17. Bertempat di Rumah Baca A-Zahra Telkom Ketintang Surabaya. Bersama dengan beberapa kawan yang antusias menyambut pertemuan hari itu. Kali ini materi yang dibahas tentang puisi dengan tutor keren bernama Umar Fauzi Ballah. Seorang penyair asal Sampang, Madura. Alumnus Sastra Indonesia Unesa, aktif di KRS (Komunitas Rabo Sore) dan Forum Sarbi. Jatuh cinta pertama kali pada puisi Do`a karya Chairil Anwar saat duduk di kelas 1 SMA yang mengantarnya untuk menulis puisi pertamanya.

Kelas Puisi

Mas Fauzi membagikan pengalaman dan tips & trik untuk membuat puisi yang baik. Dalam sastra modern, puisi sekarang lebih bebas dan tidak terikat pada aturan a-b-a-b atau terdiri dari 4-12 suku kata. Pesan penting yang bisa disampaikan bagi penyair muda seperti kami adalah orisinalitas sebuah karya, baik gagasan, diksi maupun imajinasi yang dipilih harus benar-benar segar. Tema percintaan bagi Mas Fauzi adalah hal yang paling sering diambil, tapi baginya terlalu gengsi untuk menunjukkan rasa cinta yang berlebihan dalam puisinya. Gayanya yang unik, terlihat dari puisi yang ia hasilkan. Ketika ia mengagumi seorang wanita cantik, sebisa mungkin puisinya diarahkan ke formula lain tapi masih berkaitan. Seperti draft puisi Apel-nya. 

Gaya khas santai dan bersahaja

Beberapa hal dikemukakan dengan menarik mengenai persoalan puisi, antara lain :

Ide, Tema dan Judul
Sebuah puisi berawal dari ide atau gagasan penyair. Ide ini akan dituangkan melalui judul atau tema yang dipilih. Menurut mas Fauzi, jangan pernah meremehkan gagasan yang tiba-tiba muncul. Gagasan singkat itu seringkali bersifat seperti ilham. Segera catat dan simpan baik-baik. Gagasan atau ide yang sering muncul dapat sampai dengan berbagai media. Melalui status jejaring sosial seperti Facebook, twitter, dan lain sebagainya. Jika menemukan status yang menarik, segera copy paste di tempat yang aman. Setelah itu kembangkan menjadi sebuiah paragraf. Munculnya sebuah judul masing-masing penyair berbeda. Adalakanya penyair mengawali proses dari menyusun kalimat-kalimat indah, baru ketemu judul. Atau judul diketahui lebih dulu, dan dengan itu ia menyusun bait-bait. Yang pasti ketiga unsur ini saling mendukung dan menjadi pintu utama membaca sebuah sajak.

Diksi
Elemen penting selanjutnya adalah diksi atau pemilihan kata yang baik. Seorang penyair dituntut untuk memiliki perbendaharaan yang luas. Penguasaan kata dapat diperoleh dengan membaca, terutama karya sastra.Dengan membaca, lambat laun penulis akan memperkaya perbendaharaan katanya. 

Imajinasi dan Pencitraan
Elemen penting berikutnya adalah imajinasi. Seorang penyair dituntut untuk memiliki imajinasi yang tinggi untuk memperoleh efek keindahan, begitu kata Budi Darma. Dalam puisi, imajinasi dibutuhkan sebagai pendukung logika ataupun estetika bahasa yang berwujud pemajasan. 

Tipografi
Adalah perwajahan dalam puisi. Berwujud luaran seperti bentuk atau lukisan sebuah sajak. Tipografi dapat berupa penataan bait atau jumlah baris dalam setiap bait, jumlah kata dalam satu baris. Karena itu, tipografi menjadi sedemikian penting karena ia mempengaruhi makna sebuah puisi, di samping untuk memperoleh efek keindahan perwajahan. Semisal, dalam puisi berjudul Apel, tipografi buah apel lengkap dengan tangkai dan daun dapat dipilih sebagai unsur keindahan dan penguat makna puisi. 

Meluangkan waktu untuk berdiskusi bersama kami

Selain beberapa elemen tersebut, Mas Fauzi juga menjelaskan bahwa puisi adalah karya sastra yang sangat detail, karena dengan pesan singkat berupa permainan kata diharapkan isi puisi dapat tersampaikan dengan baik. Jangan terlalu banyak menggunakan kata sifat seperti jelek, cantik, manis karena kata itu terlalu monoton, pilihlah diksi yang lebih detail. Begitu pesannya. 

Akhir-akhir ini banyak bermunculan komunitas Malam Puisi di beberapa kota di Indonesia, tapi kebanyakan puisi yang ditampilkan bukan puisi yang secara sah disebut puisi. Kebanyakan puisi yang dibuat lebih bersifat luapan emosi, itulah mengapa ia berargumen penulis dibedakan menjadi dua. "P" besar dan "p" kecil. 

Baginya, puisi yang baik adalah puisi yang dapat memberikan ruang untuk berfilosofi dan merenung serta menggetarkan hati bagi pembaca. 

Agenda langganan yang tak boleh tertinggal di akhir acara
Agenda berikutnya Insya Allah kelas cerpen sama Mbak Wina Bojonegoro, sayang sekali, sepertinya aku harus melewatkan kelas spesial ini. 
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Surabaya, 13 Dzulhijjah 1434
Rumca Az-Zahra Telkom Ketintang
Rahayu Lestary



Kamis, 14 November 2013

Filosofi Jahe Anget

Pukul 8 pagi kurang 1 menit. Aku sampai kantor. Seperti biasa, pria paruh baya ini menyambutku dengan senyum sumringah. Masih mengenakan sarung dan peci hitam yang terlihat tak baru lagi. Ku lihat ia beranjak membersikan sisa-sisa sarapan paginya. Lalu bergegas membukakan pintu untukku. "Sarapan, Mbak" sapanya. "Sampun [1], Pak" sahutku. "Masih sepi, Mbak. Barusan Bapak dan Ibu berangkat." sambungnya. "Iya, Pak. Baru saya yang datang. hehe Saya naik dulu, ya?" jawabku.

Ku langkahkan kaki menapaki satu persatu anak tangga. Masih gelap, ku tekan saklar bertuliskan "ruang kerja" pada potongan kertas putih berisolasi di atasnya. Cuaca Sidoajo memang masih panas, tak terkecuali di pagi hari. Sedikit keringat menetes saat berkendara. Ku nyalakan AC dan kipas angin biru tinggi besar di ujung meja. Kalau siang, dua malaikat berwujud robot ini terkadang tak membantu sedikitpun. 

Ku nyalakan komputer sembari meletakkan tas dan melepas jaket biru kesayanganku. Tak lama pria paruh baya itu menyusulku, "Mbak, mau wedang [2] Jahe? kemarin saya beli satu renceng di Giant. Saya kasih ke Tacik [3] sebelah sama satpam depan. Saya buatkan, ya?" ulasnya menawariku."Wah, enak itu, Pak. Saya mau." Jawabku tanpa basa-basi. 

Tak sampai 5 menit, Pria Paruh Baya itu datang kembali dengan secangkir jahe angat. Dengan piring kecil di atasnya. "Niki, Mbak. Spesial buat Mbak Tari. Lekas diminum, Mbak. Mumpung masih panas." tawarmya riang. "Uwaaa...sippp, Pak! hmmm...baunya enak," sambutku dengan sumringah. "Tapi nanti aja, Pak. Masih panas. Takut kepanasan. hehehe" sambungku. "Ya enak masih panas toh, Mbak. Anget di tenggorokan. Yauda, Saya mandi dulu, Mbak" ujarnya.

Sepeninggal Pria Paruh Baya itu, aku melanjutkan pekerjaanku. Menyiapkan flashdisk dan atribut penunjang kerjaku lainnya. Sesekali ku lirik cangkir coklat di sebelahku. Penasaran sekali dengan rasanya, tadi Pria Paruh Baya itu sempat menunjukkan bungkus kemasannya. Sekilas ku baca ada campuran krimernya. Aih, jadi makin penasaran. Ku raih cangkir itu, ku tiup beberapa kali di atasnya. Ku dekatkan ke mulut, sembari sesekali mencium aromanya. Nikmat sekali, ingin rasanya ku seruput.tapi lidah terasa kelu. Ada ketakutan muncul disana. Ketakutan akan rasa panas yang membakar di ujung lidah. Ku urungkan. Sekali lagi kucoba untuk menyeruputnya, tetap sama. Rasa takut itu muncul. Rasa penasaranku rasanya tak berujung, tapi terkalahkan oleh rasa takut. 



Lima belas menit berikutnya...
Ku raih kembali cangkir itu, ku usap kulit luarnya. Ah, sudah hangat. Pikirku merayu. Kunikmati kembali aroma nikmat jahe anget ini. Tangan kanan memegang cangkir, bertumpu tangan kiri memegang piring kecil di bawahnya. Kali ini harus ku coba. Ku seruput perlahan. Berhasil. Ku nikmati multi rasa di dalamnya. Pedas jahe dikombinasi dengan gurihnya krimer, dibalut dalam air yang menghangat. Nikmatnya... ku seruput kembali untuk kesekian kalinya. Rasanya enggan untuk meminumnya dalam jangka waktu panjang. 

Pikiranku terfokus pada setiap sensasi yang terjadi di dalam mulutku. Rasanya sama seperti pertama kali menikmatinya. Lidahku sudah mulai terbiasa, tapi tetap tak rela melepasnya. Kunikmati dengan mata terpejam. 

Tanpa sadar, otakku seakan menyentil untuk mengembangkan rasa. Rasa-rasanya seperti kehidupan. Terkadang kita terlalu takut untuk memulai hal baru, yang sebetulnya kita tahu bahwa itu baik. Tapi, pikiran negatif seringkali lebih kuat untuk menunda hal baik tersebut. Ketika kita mulai mencoba memasukinya, ada sensasi hebat saat pertama kali merasakannya. Sama seperti hidup, saat pertama mencoba mungkin kita akan bertemu dengan berbagai karakter orang-orang baru, tempat baru, suasana baru yang semuanya menuntut kita untuk bisa beradaptasi dengan mereka. 

Seruputan kedua dan seterusnya menjelaskan bahwa kita sudah merasa enjoy akan susana baru. Seringkali, kecocokan dengan orang atau tempat tertentu membuat kita setia mengulanginya meski sebetulnya mereka tak menjanjikan suasana baru yang lebih baik.

Di ujung seruputan, lekas-lekas kuhabiskan dan ku telan dengan anggun. Suatu saat, pertemuan dengan orang dan tempat yang sama ditambah suasana yang sama pula, akan membawa kita pada titik kejenuhan. Sehingga tak jarang kita akan mudah berpaling pada komunitas lain untuk mencari suasana baru  lagi.

Ah, apapun itu. Aku masih menikmati tetesan wedang jahe anget ini. Tak akan ku tolak jika pria Paruh Baya itu menawariku kembali. 



****
[1] Sampun : Sudah dalam bahasa Jawa
[2] Wedang : Minuman hangat, bahasa Jawa
[3] Tacik : Panggilan untuk perempuan Tionghoa yang lebih tua.

*Tulisan ini dibuat untuk belajar nulis lebih baik, terinspirasi dari blog  Mas Jul :D

Rabu, 13 November 2013

Monolog Jiwa

Tak bernyawa
Mati

Mungkin itu kata yang pantas untuk jiwa dan ragaku. Ketika semua anak seusiaku sudah menemukan gairah dan tujuan dalam hidupnya, aku disini terantai seonggok kemalasan. Boleh jadi aku hanya gadis pemimpi yang sangat buruk. Pemimpi. Hanya pemimpi. Berujung omong kosong dan nol besar. Aku tahu, ini tak bagus untuk dibiarkan berlarut.

Ketika aku berdoa pada Tuhan untuk dikirimkan malaikat penolong, aku tak berharap timbul rasa lebih dari teman disana. Aku selalu berdoa agar dipertemukan dengan orang-orang yang mampu menyeretku pada gairah level teratas.

Gairahku pada tulisan. Aku seorang gadis penghayal dengan milyaran hayalan konyol yang dengan begitu saja menguap ketika hendak diwujudkan aksara.

Gairahku pada agamaku. Berharap ada perbaikan akhlak. Mendewasakan diri, agar tidak larut dalam kecewa setelah berucap yang menyakitkan.

Allah Maha Baik.
Itu pasti. Dan kini, aku menunggu kebaikan-Nya kembali…

Daun Jatuh Tak Berteguh

Aku bagai daun jatuh yang mudah tertiup angin.
Aku mudah terbang dan berlalu begitu saja.
Tanpa ke-istiqomahan

Aku daun jatuh yang tak bernyawa
Mudah terombang-ambing
Mudah tertarik pada sesuatu,
Juga mudah menguap begitu saja.

Aku daun jatuh
Yang berlalu sendiri
Tak berkawan damai meski dengan diri sendiri

Aku daun jatuh
Yang mencari peruntungan dengan mencoba segala hal
Memiliki ratusan rencana yang berakhir omong kosong

Aku daun jatuh
Yang tak mampu menjaga lingkungan tempatku berteduh
Menyendiri, merasa kecil bagai tak bertuhan

Aku daun jatuh, yang tak berteguh…

Buku Antologi Pertamaku


SURAT KECIL UNTUK NEGERIKU
Oleh : Rahayu Lestary

Dear Indonesia,
Apa kabarmu?
Masih hijaukah hamparan tanahmu?
Masih ramahkah angin bumimu?
Masih merdukah suara gemericik pantaimu?
Masih bersahajakah langitmu?

Aku harap semua tetap seindah kisahmu dalam buku sejarah yang pernah ku baca.
Perkenalkan, aku Tari, ya kau bisa memanggilku dengan nama itu. Anak ingusan yang belum bisa memberi kebanggaan untukmu.

Indonesiaku, aku tahu ada beberapa kabar tentangmu yang sering ku dengar dan ku lihat dari televisi. Tentang bumimu, tentang manusiamu. Aku juga melihat ada banyak manusia yang mengumpatmu, mencemoohmu, memakimu, hingga membencimu. Mereka, yang mengaku sebagai "RAKYAT"mu sendiri yang bersikap seperti itu. Indonesia, mungkin jika engkau berwujud seorang ibu, tak akan ada lagi air mata yang keluar karena terlalu sering engkau menangis.

Seharusnya, bukan kau yang disalahkan. Indonesia, bukankah itu hanya nama suatu negara? Kau bukan berwujud manusia. Seharusnya, yang patut disalahkan bukanlah engkau, tapi manusia-manusia itu. Bukan juga pemerintah atau pejabat teras, karena manusia-manusia itu juga kan yang memilih mereka? Kamilah yang seharusnya disalahkan.

Kalau sekarang korupsi merajalela, siapa lagi yang disalahkan? Apakah engkau lagi Indonsia?
Tidak, kamilah yang sepantasnya disalahkan. Seringkali hal-hal sepele kami anggap wajar. Sogok-menyogok misalnya, dengan alih-alih agar segera beres, maka kita mewajarkannya.

Indonesia, banyak sekali manusia yang mencemoohmu. Berbagai lontaran dan protes yang divisualisasikan dengan berbagai aksi kerap ditunjukkan. Bukankah engkau, Indonesia tidak hanya milik pemerintah saja? Bukan juga milik beberapa orang. Tapi, kami, yang mengaku sebagai "RAKYAT" Indonesialah yang memilikimu.

Indonesia, jika engkau bertanya, malukah aku memilikimu?
Ku jawab,TIDAK. Aku bangga padamu. Aku bangga memilikimu.
Aku tidak malu berwarga Negara Indonesia...

Biar saja banyak orang yang membencimu, menghujatmu, memakimu, mencemoohmu melecehkanmu. Biar saja.. itu tidak mengurangi rasa cintaku. Biar saja mereka memanggilmu dengan panggilan yang jelek, biar saja!

Mengapa mereka, manusia-manusia yang membencimu itu tidak pergi saja? kenapa masih menggunakan produk-produk Indonesia? Mengapa masih mengibarkan bendera merah putih? Mengapa masih serakah meraup rejeki di tanahmu? Tidak adil rasanya. Sungguh.

Aku bangga berpijak bumimu. Negara yang kaya raya dengan banyak pulau, beragam suku, beragam budaya, beragam makanan dan beragam bahasa. Kepakkan sayapmu wahai Garuda, terbang dan tinggilah meluas cakrawalamu.

Aku yakin, dari sekian banyak yang membencimu, masih ada sisa-sisa manusia yang mencintaimu. Biarlah kami, bagian dari manusia yang tersisa itu yang akan menemani dan menghapus dukamu dengan semangat nasionalisme dan janji memerdekakan diri. Merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan.

Indonesiaku, maafkan kami, ijinkanlah kami membuktikan cinta dengan berada pada barisan manusia yang tersisa. Mungkin tidak banyak yang bisa kami beri, tapi percayalah kami bukanlah debu yang bila tertiup angin akan menutup keindahanmu.

Indonesiaku, selamat ulang tahun ke-68 ya,
Salam Sayang, aku yang merindukanmu, Tari.

Juara II Lomba Menulis Untuk Indonesia oleh Rasibook

Gie - Puisi Cahaya Bulan

Sumpah.
Aku jatuh cinta sejak pertama mendengarnya...


Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih selembut dahulu...
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku

Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih
Lembah Mandalawangi...
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu...
Saat kudekap kau dekaplah lebih mesra...
Lebih dekat...
Apakah kau masih akan berkata...
Kudengar detak jantungmu

Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam Cinta...
-------------------

Cahaya Bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu
Dimana jawaban itu

Bagai letusan berapi
Bangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban... kegelisahan hati






Memori Dalam Gendul

Kau punya kenangan? 
Aku harap punya. Dan pasti punya. 
Aku juga punya. Banyak malah, lebih dari satu.

Apa kau masih hidup dengan kenanganmu?
Kenangan indah atau bahkan kenangan bodoh yang ingin kau skip begitu saja? 

Kenangan itu kegilaan yang membentuk kita saat ini.
Kenangan bisa muncul dari banyak kejadian sepele tak terduga. Aku menikmati setiap tetesan hujan, meski sebetulnya tidak suka hujan. Apalagi ketika sedang berkendara. 

Bagiku, hujan adalah rangkain sengatan kenangan yang mengalir begitu saja. Terkadang sengatannya tinggi, terkadang juga rendah. Hujan mengingatkan hal bodoh beberapa tahun lalu, ketika dengan sengaja berhujan-hujan ria di danau dekat rumahku. Bukan danau, lebih tepatnya waduk pengolahan limbah industri. Tapi biarlah ku sebut dengan danau cinta. Ah, bodoh lagi kan? 

Jangan pernah membayangkan aku main hujan dengan  kejar-kejaran berebut pancuran hujan dari pipa air dari atap rumah. Aku hanya diam, menikmati tetesan hujan di ujung jilbabku. Sesekali mengelap lensa kacamata berembun yang sebetulnya sia-sia saja membersihkan, karena hanya memperburuk pandangan. Ya, aku hanya terdiam. 

Aku menikmati setiap tetes dengan pemandangan kabut putih hujan deras. Ditemani dengan pemancing berkerudung mantel hijau doreng yang tak ada niat sedikitpun memancing. Aku tahu karena setiap ada ikan yang tertangkap kail, pria itu akan melepaskan kembali. Sesekali melemparkan pada kucing di seberang.

Kenangan macam apa ini? Tak bermutu. 
Tak membuatku sedih. Aku bersyukur Tuhan begitu baik mengunci hati dari kesedihan bodoh. Entah betapa dewasanya aku hingga aku bisa menyalahkan diri sendiri atas kejadian masa lalu. Tuduhan atas kebodohan masa remaja. Ah, setidaknya lebih baik daripada berlarut menjangkaunya.

Kenangan tak bisa dilupakan, tapi sesekali boleh dikenang. Agar kita bisa menertawakan sandiwara hidup masa lalu. Pengalaman cinta masa remaja. Sebentar, aku ingin tertawa. Kini, aku tak sedikitpun mengharapnya kembali. Hanya gadis bodoh yang mau dan bertahan di kenangan masa itu. Hei, Itu artinya aku pernah jadi gadis bodoh. 

Memori Dalam Gendul

Apa kau punya gendul?
Eh, tahu tidak apa itu gendul? 
Kalau Jawa tulen pasti tahu apa itu gendul. Sini biar kuberi tahu, kata almarhumah nenekku dulu, gendul dalam bahasa Indonesia artinya botol. Nah, tahu botol kan? Ya, betul. Pinter.

Bicara tentang gendul, berarti bicara tentang wadah untuk menyimpn cairan. Entah cairan yang bisa dikonsumsi ataupun bahan kimia. Lalu korelasinya apa? Berbelit-belit. Bagiku, kenangan itu seperti cairan. Kita punya pilihan untuk menyimpan dan meletakkannya dimanapun. Aku sendiri lebih suka menyimpannya dalam gendul yang bisa kututup rapat dan melemparnya jauh ke laut lepas kehidupan. 

Suatu ketika, ombak bisa membawa ke tepi laut lalu meninggalkannya di pasir putih pantai. Itulah kenapa aku masih suka menemukannya. Tapi setelahnya langsung kututup kembali rapat-rapat. Kali ini ku tambahkan plastik di ujung kepala botol sebelum kupasangkan topi di atasnya.

Itulah, mengapa kita diminta mengingat Tuhan, karena dengan mengingat-Nya kebaikan pun mengikuti. Tidak seperti laut, pantai, tanah, awan, pelangi atau hujan, yang mengingatkan pada kenangan. 

Aku orangnya penakut. Lebih takut lagi ketika dihantui masa lalu.