Kamis, 14 November 2013

Filosofi Jahe Anget

Pukul 8 pagi kurang 1 menit. Aku sampai kantor. Seperti biasa, pria paruh baya ini menyambutku dengan senyum sumringah. Masih mengenakan sarung dan peci hitam yang terlihat tak baru lagi. Ku lihat ia beranjak membersikan sisa-sisa sarapan paginya. Lalu bergegas membukakan pintu untukku. "Sarapan, Mbak" sapanya. "Sampun [1], Pak" sahutku. "Masih sepi, Mbak. Barusan Bapak dan Ibu berangkat." sambungnya. "Iya, Pak. Baru saya yang datang. hehe Saya naik dulu, ya?" jawabku.

Ku langkahkan kaki menapaki satu persatu anak tangga. Masih gelap, ku tekan saklar bertuliskan "ruang kerja" pada potongan kertas putih berisolasi di atasnya. Cuaca Sidoajo memang masih panas, tak terkecuali di pagi hari. Sedikit keringat menetes saat berkendara. Ku nyalakan AC dan kipas angin biru tinggi besar di ujung meja. Kalau siang, dua malaikat berwujud robot ini terkadang tak membantu sedikitpun. 

Ku nyalakan komputer sembari meletakkan tas dan melepas jaket biru kesayanganku. Tak lama pria paruh baya itu menyusulku, "Mbak, mau wedang [2] Jahe? kemarin saya beli satu renceng di Giant. Saya kasih ke Tacik [3] sebelah sama satpam depan. Saya buatkan, ya?" ulasnya menawariku."Wah, enak itu, Pak. Saya mau." Jawabku tanpa basa-basi. 

Tak sampai 5 menit, Pria Paruh Baya itu datang kembali dengan secangkir jahe angat. Dengan piring kecil di atasnya. "Niki, Mbak. Spesial buat Mbak Tari. Lekas diminum, Mbak. Mumpung masih panas." tawarmya riang. "Uwaaa...sippp, Pak! hmmm...baunya enak," sambutku dengan sumringah. "Tapi nanti aja, Pak. Masih panas. Takut kepanasan. hehehe" sambungku. "Ya enak masih panas toh, Mbak. Anget di tenggorokan. Yauda, Saya mandi dulu, Mbak" ujarnya.

Sepeninggal Pria Paruh Baya itu, aku melanjutkan pekerjaanku. Menyiapkan flashdisk dan atribut penunjang kerjaku lainnya. Sesekali ku lirik cangkir coklat di sebelahku. Penasaran sekali dengan rasanya, tadi Pria Paruh Baya itu sempat menunjukkan bungkus kemasannya. Sekilas ku baca ada campuran krimernya. Aih, jadi makin penasaran. Ku raih cangkir itu, ku tiup beberapa kali di atasnya. Ku dekatkan ke mulut, sembari sesekali mencium aromanya. Nikmat sekali, ingin rasanya ku seruput.tapi lidah terasa kelu. Ada ketakutan muncul disana. Ketakutan akan rasa panas yang membakar di ujung lidah. Ku urungkan. Sekali lagi kucoba untuk menyeruputnya, tetap sama. Rasa takut itu muncul. Rasa penasaranku rasanya tak berujung, tapi terkalahkan oleh rasa takut. 



Lima belas menit berikutnya...
Ku raih kembali cangkir itu, ku usap kulit luarnya. Ah, sudah hangat. Pikirku merayu. Kunikmati kembali aroma nikmat jahe anget ini. Tangan kanan memegang cangkir, bertumpu tangan kiri memegang piring kecil di bawahnya. Kali ini harus ku coba. Ku seruput perlahan. Berhasil. Ku nikmati multi rasa di dalamnya. Pedas jahe dikombinasi dengan gurihnya krimer, dibalut dalam air yang menghangat. Nikmatnya... ku seruput kembali untuk kesekian kalinya. Rasanya enggan untuk meminumnya dalam jangka waktu panjang. 

Pikiranku terfokus pada setiap sensasi yang terjadi di dalam mulutku. Rasanya sama seperti pertama kali menikmatinya. Lidahku sudah mulai terbiasa, tapi tetap tak rela melepasnya. Kunikmati dengan mata terpejam. 

Tanpa sadar, otakku seakan menyentil untuk mengembangkan rasa. Rasa-rasanya seperti kehidupan. Terkadang kita terlalu takut untuk memulai hal baru, yang sebetulnya kita tahu bahwa itu baik. Tapi, pikiran negatif seringkali lebih kuat untuk menunda hal baik tersebut. Ketika kita mulai mencoba memasukinya, ada sensasi hebat saat pertama kali merasakannya. Sama seperti hidup, saat pertama mencoba mungkin kita akan bertemu dengan berbagai karakter orang-orang baru, tempat baru, suasana baru yang semuanya menuntut kita untuk bisa beradaptasi dengan mereka. 

Seruputan kedua dan seterusnya menjelaskan bahwa kita sudah merasa enjoy akan susana baru. Seringkali, kecocokan dengan orang atau tempat tertentu membuat kita setia mengulanginya meski sebetulnya mereka tak menjanjikan suasana baru yang lebih baik.

Di ujung seruputan, lekas-lekas kuhabiskan dan ku telan dengan anggun. Suatu saat, pertemuan dengan orang dan tempat yang sama ditambah suasana yang sama pula, akan membawa kita pada titik kejenuhan. Sehingga tak jarang kita akan mudah berpaling pada komunitas lain untuk mencari suasana baru  lagi.

Ah, apapun itu. Aku masih menikmati tetesan wedang jahe anget ini. Tak akan ku tolak jika pria Paruh Baya itu menawariku kembali. 



****
[1] Sampun : Sudah dalam bahasa Jawa
[2] Wedang : Minuman hangat, bahasa Jawa
[3] Tacik : Panggilan untuk perempuan Tionghoa yang lebih tua.

*Tulisan ini dibuat untuk belajar nulis lebih baik, terinspirasi dari blog  Mas Jul :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar