Rabu, 25 September 2013

Ada Kanan Ada Kiri

Manusia dalam perjalanannya untuk sampai ke bumi, begitu lekat dan jelas tertulis dalam Al Qur'an. Hakekat manusia diturunkan ke bumi pun juga jelas. Selalu ada pertanyaan, buat apa sih kita di bumi? Kalau manusia dianggap sebagai perusak, lalu mengapa diciptakan manusia? Rentetan pertanyaan pun akan terus berlanjut.

Bagiku, manusia tidak berbeda dengan panggung sandiwara. Hanya ada sedikit perbedaan, jika dalam panggung sandiwara mereka berakting harus sesuai dengan sinopsis, maka dalam sandiwara kehidupan, Allah memberikan sedikit kebebasan pada manusia untuk memilih. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa manusia itu sendiri yang merubahnya?

Mungkin dalam catatan Allah kita ditakdirkan sebagai orang yang miskin atau bodoh. Tapi sudah sunatullah bahwa dimana setiap ada usaha, selalu ada jalan. Orang Jawa bilang Gusti Allah pireng, Gusti Allah pirsa, lan Gusti Allah mboten sareh yang di-Indonesiakan menjadi Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat dan Allah juga tidak tidur. 

Banyak motivasi yang muncul untuk memberikan semangat bahwa di luar sana ada lulusan SMA yang menjadi direktur ataupun orang berpendidikan di bawahnya bisa memiliki omzet Milyaran sampai Triliyunan. Ketika ditelusuri, selain mereka berkemauan keras dan perjuangan yang gigih, ternyata ada attitude baik yang dibangun sehingga Allah pun mempercayakannya untuk dapat memimpin para sarjana bekerja dalam perusahaannya. 

Mengapa ada kanan ada kiri? 
Selalu ada pilihan yang baik dan buruk. Anggaplah itu sisi kanan (kebaikan) dan sisi kiri (keburukan). Malaikat ditempatkan di sisi kanan kiri pundak kita memiliki tugas masing-masing. Kita diberi tangan kanan dan kiri, akan lebih sopan memberikan dengan tangan kanan. Makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Itulah mengapa orang bilang bahwa everything is choice. Dimanapun kita berada, pasti ada dua pilihan. Ketika pulang kuliah, kita punya pilihan untuk langsung pulang atau pergi hang out dengan teman. Begitu juga ketika kita menunggu, kita punya pilihan untuk membaca atau mengobrol dengan orang. Sudah tentu dua hal tersebut memiliki dampak positif dan negatif.

Sebagai anak muda pun, kita memiliki banyak pilihan dan pertanyaan atas rasa ingin tahu. Seringkali kita jadi pasukan bebek yang suka mengekor dunia entertaint. Mulai dari fashion sampai life style. Teman yang saya temui pun beragam. Ada yang benar-benar hidup untuk dunia, ada yang hidup untuk bekal akhirat, dan ada juga yang berusaha menyeimbangkan keduanya. 

Agama tidak membatasi ruang lingkup pertemanan, tapi kita harus pandai menentukan mana yang bisa dijadikan teman dan sahabat. Islam juga mengatur agar kita tidak banyak mengeluh dan menceritakan kesusahan atau keburukan kepada orang lain kecuali untuk berkonsultasi dalam memperoleh pencerahan. Bukankah Allah sudah menutup aibmu? 

Setiap orang di dunia ini berlomba-lomba ingin bisa menjadi kaya. Apa kaya menjadi salah satu dalam daftar tujuan hidup kamu? Ya.Begitu juga saya.

Terkadang kalau sedang merenung, saya berpikir mau ngapain sih kalau sudah kaya nanti?
Mau makan enak di restoran mewah? Mau pergi ke luar negeri kaya keluar masuk rumah? Mau pakai baju mahal? Mau pakai mobil mewah? Mau punya gadget yang selalu up to date? atau mau punya rumah bertingkat 10? 

Sejatinya, kaya itu keadaan bebas dari segala tekanan dan kondisi pikiran yang luar biasa sehat. Kenyataannya, perut kita hanya akan menampung berapa kalori makanan saja meski yang kita masukkan adalah makanan mahal dan bervariasi. Bahkan sering kali kita tidak menghabiskan makanan yang kita beli dengan harga ratusan ribu, sedangkan di luar sana uang 100.000 bisa untuk makan orang 10? Saya sendiri terheran-heran dengan orang-orang yang dengan mudah mengeluarkan uangnya untuk membeli makanan yang sebetulnya kalau masak sendiri atau beli di warung rumahan bisa jauh lebih murah. Saya pribadi, masih suka berpikir berkali-kali untuk sekedar makan di warung yang agak "wah" dengan sajian makanan yang sering dimasakkan oleh ibu di rumah. Terlalu sayang bagi saya untuk membayar tahu crispy seharga 15.000. Mungkin Ibu saya akan berteriak gaduh kalau tahu saya nekat membelinya. 

Sama halnya dengan memakai baju atau jam tangan mahal. Fungsinya tak ada bedanya. Apakah ada jaminan bahwa jam mahal akan menunjukkan jarum waktu yang berbeda dengan jam yang dijual di lapak pinggir jalan? Kalau kita bisa membeli baju murah tetapi selalu rapi dan menyisihkan sisanya untuk disedekahkan, bukankah lebih baik begitu?

Dengan berduit kita bisa pergi ke luar negeri sesuka kita. Ya. Betul. Terus ngapain? Mencari kebahagiaan dengan pergi meninggalkan masalah itu bukan suatu solusi, terkadang ketika sedang mempunyai beban kita tidak akan bisa menikmati keindahan meski kita di tempat ramai dan indah sekalipun karena kita terfokus pada satu titik masalah itu.

Mungkin sekali-kali, bolelah kita memanjakan diri menikmati makanan mahal, baju mahal atau barang-barang mahal lainnya. Akan tetapi, alangkah baiknya bila kita menimbang terlebih dahulu manfaat dan tujuannya. Kalau dirasa kita tidak membutuhkannya, lebih baik jangan dibeli. Sekali-sekali jangan menuruti ego untuk membeli gadget pendukung gaya hidup hedonis. Seringkali, kita memberatkan orang tua dengan merengek gadget baru sehingga beliau harus rela berhutang untuk sekedar bisa membelikan kamera atau handphone canggih.

Saya tidak menyoroti mereka yang memang diberi kelebihan rejeki, saya juga tidak membenci orang kaya karena seperti yang saya bilang tadi, kaya ada dalam salah satu daftar tujuan hidup saya. Segala hal yang berlebihan selalu tidak baik jadinya. Maka, sebelum saya kaya, izinkan saya untuk menata diri. Berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya serta berpandai-pandai menentukan pilihan. Bukankah segala yang kita terima dan kita keluarkan akan dimintai pertanggungjawaban nanti? Allahu a'lam bis-shawaab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar