Rabu, 24 Desember 2014

Klakson

Aku membutuhkan banyak pertimbangan untuk sekedar membunyikan tombol di setir sebelah kiri itu. Bagiku, klakson ialah benda keramat yang tak boleh sembarang dibunyikan. Dia bukan sekedar tombol yang bisa ditujukan pada sembarang orang. Bukan pada orang yang mendadak berhenti, pada tukang krupuk yang tak terlihat orangnya dari belakang,  atau pada mereka yang ketahuan melamun di lampu merah. Bukan..bukan.. Bahkan aku membenci mereka yang menambahkan umpatan kasar di ujung klakson.

Klakson memberikan sengatan tersendiri, menimbulkan gelisah sesaat setelah mendengar. Baiklah, mungkin klakson diciptakan sebagai pengganti mulut. Tapi bukankah "mulut" itu bisa lebih dibunyikan dengan halus? tak perlu tekanan berotot dengan lolongan yang panjang. 

Bila klakson merupakan kepanjangan dari "mulut", maka dia merefleksikan bagaimana kamu. Manusia dengan penuh emosi dan tingkat kesabaran yang payah. Sedikit-sedikit menekan klakson.

Saat di jalan kita memiliki berbagai hal yang dapat menyebabkan perubahan pada mood. Pada lampu merah yang terkesan lambat menghijau, terjebak palang pintu kereta yang ternyata hanya sebuah lokomotif yang berjalan manja, atau pada angkot yang suka berhenti sembarangan. Hal sepele yang mampu merubah kondisi diri dalam sekejap, tentunya itu akan terjadi bila kamu mudah terseret. 

Hmmm...bukankah kita memiliki hak untuk bersikap? Bukan dipengaruhi keadaan namun kita yang mempengaruhi keadaan. Andai kita bisa lebih bisa menarik hal baiknya, menahan untuk tak mengumpat, tak mengeluh. Kita punya kepentingan. Sama, mereka juga. Namun kita memiliki hak untuk memilih, bahkan sebelum takdir akhirnya menuntun kita. Pokoknya kita bisa memilih. Coba sedikit bersedekah, dengan klakson. Tahan untuk tak menekannya. Coba beri kesempatan, gesekan hanya meninggalkan bekas, namun sekali lagi, kita memiliki pilihan dan bertanggungjawab atas suasana hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar