Rabu, 16 Januari 2013

Di Bawah Langit-Langit Kamar

Pertama-tama ijinkan aku untuk bertanya padamu, kawan..
Sudah banggakah kau sebagai wanita?
Sudah berarti kah kau sebagai wanita?
Baiklah, akan kuberitahu bagaimana jawabanku.

Sejauh ini, aku bangga menjadi seorang wanita. Meskipun sampai usiaku yang telah memasuki kepala dua ini terkadang aku masih bingung atas sikap atau karakter apa yang harus ku pilih dan ku perankan? Bagiku, manusia itu tak beda dengan seorang seniman akting. Kelak, di akhir jaman akan diputarkan kembali film kita.

Proses pencarian jati diri itu tak mudah dan tak sesingkat yang kita bayangkan. Pernah, suatu kali aku bertanya pada teman kerjaku, usianya sudah masuk kepala empat. Mengapa emosiku masih belum stabil? Jawabnya sungguh mengejutkan, "Jangankan kamu, Dik. Aku yang sudah seusia ini pun masih suka tak terkontrol emosinya."

Banyak petuah klasik yang berkata, "Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan", "Dewasa itu Tak Dapat Diukur dengan Usia" dan petuah-petuah klasik lainnya.

Lalu, dewasa dalam arti seyogyanya itu yang seperti apa?
Merelakan sahabat demi seorang pacar? Apakah yang seperti ini bisa dikatakan dewasa?
Tidak. Dewasa itu tak berarti tua, dan tua juga tak berarti dewasa.

Dulu sekali, aku pernah mengutuk diriku betapa tidak enaknya menjadi seorang wanita. Wanita, tak bisa seleluasa seperti kaum adam untuk mengekspresikan perasaannya. Terikat dengan norma agama, adat istiadat, ataupun sosial. Sehingga wanita masih memiliki rasa malu untuk menyampaikan rasa cintanya. Hingga akhirnya, aku harus memeram rasa itu dalam diam. Mencoba menjalin hubungan dengan orang lain, dan baru tersadar bahwa untaian itu menjulur ke arahnya. Tapi, aku tahu. Tak boleh aku begitu. Dia sudah menemukan dunianya, dunia yang lebih bersahabat dan mengerti tentangnya. Aku dan temaram senja selalu mendoakan kebahagiaanmu.

Berusaha menjadi wanita yang mandiri. Fokus dulu dengan kuliah, karier, keluarga, sosial. Terkadang, waktu 24 jam sehari kurasa tak cukup jika sudah beraktivitas. Sampai-sampai aku merasa berdosa pada bapak ibu ku. Waktuku banyak tersita dengan kesibukan di luar. Terima kasih, Allah masih mengingatkanku dengan kasih sayang. Dia mengirimkan seseorang untuk mengetuk hatiku agar lebih mendahulukan keluarga.

Kita yang masih diberi kesempatan untuk menjaga bapak ibu. Jangan sampai menyesal, bersosialisasi boleh kawan, tapi selalu utamakan keluarga. Terkadang orang tua tak mengharapkan kucuran uang atas keringatmu. Tapi hanya sedikit meluangkan waktu untuk sekedar bercengkerama mendengarkan keluh kesahnya, itu sudah lebih dari cukup bagi mereka. Jadilah anak yang dekat dengan orang tua. Agar orang tua kita yakin dan memiliki semangat untuk tetap berjuang memapankan anak-anaknya melalui barisan doanya.

Teruntuk ibuku tersayang..Wanita terhebat yang pernah ku kenal.
Semoga lekas sembuh, Bu. Aku sayang padamu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar