Senin, 23 Juni 2014

Dewi di Pagi Hari



Pagi ini masih gelap dan basah. Hujan dini hari tadi masih meninggalkan sisa untuk mengawal hari yang kutaksir super sibuk. Seperti kata orang sok bijak dalam status sosial medianya, kusetting sugesti semangat it's monday. money day not monster day

Diiringi lagu Pasti Bisanya Citra Scholastica, kuayunkan langkah menuju kamar mandi. Hujan tak hanya menyisakan mendung dan basah, namun hawa dingin ikut menjalar pula pada air dalam bak mandi. Aku mulai terbiasa mandi dengan air coklat Bengawan Solo. Menjadi Pegawai Negeri di saah satu instansi pemerintahan Gresik, membuatku harus terbiasa dengan hawa pedesaan. Kantorku di tengah kota, namun Ayah tak mengijinkanku untuk kost. Aku tinggal dengan saudara Ayah yang kupanggil Pakwak, panggilan lain untuk Pakdhe.

Samar-samar terdengar suara tetanggaku meneriaki anak semata wayangnya untuk bergegas mandi. Dewi namanya. Anak yang lincah dan aktif namun pemalu. Dia suka berdiri mengintip di depan pintu ketika aku bermain laptop. Bila tertangkap pandanganku, maka Dewi akan pergi dengan suara cekikikan. 

Pernah suatu sore, saat aku memainkan games di laptop, sengaja kukencangkan musiknya agar Dewi tertarik. Tepat seperti dugaanku, dengan kebiasaannya ia mengintipku yang asyik bermain. Aku berpura-pura tak memperdulikan kehadirannya, hingga akhirnya Dewi memberanikan diri mendekatiku. Kulirik, kembali cekikikan. Kali ini dia tak berusaha lari, dengan meremas kaos bagian bawahnya, malu-malu ia menempel di sofa tampatku duduk.

Kubiarkan saja dia mendekat, “Dewi mau coba main?” tawaranku.
Tawaranku dijawab dengan cengiran manja. Kuarahkan layar monitor kepadanya, dengan malu-malu ia mendekatkan tangannya meraih keyboard. Dewi memang anak yang cerdas. Sedikit saja kujelaskan dia sudah paham. Selanjutnya, ia asyik bermain games Angry Birds.

“Dewi kalau besar mau jadi apa?”
“Kata ustad Ali anak-anak harus jadi anak solehah, Mbak. Aku mau jadi anak solehah” Jawabnya tanpa memalingkan konsentrasi dari laptop.

Dewi seperti anak pada umumnya. Rutinitasnya tak jauh-jauh dari pergi sekolah, bermain dan mengaji. Namun yang membuatku kagum, meski baru berusia delapan tahun, sholat fardhunya tak pernah terlewat sekalipun. Belum lagi semangatnya untuk sholat berjamaah di musholla kecil ujung gang. Pernah sekali, saat itu hujan turun dengan derasnya. Setengah jam sebelum waktunya sholat, Dewi sudah siap untuk bergegas ke Musholla. Dengan mengayuh sepeda usang pemberian tetangganya, ia berlomba melawan hujan. Ibunya kembali meneriaki untuk sholat di rumah saja. Namun, Dewi keukeuh ingin sholat di Musholla. Setelah itu, kulihat dua butir cairan bening jatuh di pipi ibunya. 

Kebiasaan-kebiasaan tak wajar itu seolah menjadi tamparan bagiku. Aku yang mengaku muslimah, berjilbab lebar, berbaju longgar, kemana-mana bawa Al Qur`an di tas. Namun ternyata perjuanganku tak sehebat Dewi dalam menunjukkan rasa cinta. 

Dewi tinggal dengan bapak dan ibunya yang sudah tak pantas untuk memiliki anak seumurannya. Orang yang belum tahu selalu mengira ia adalah cucu mereka. Bapaknya menderita stroke ringan setahun terakhir ini. Sehingga ibunya terpaksa harus bekerja di toko bakery dekat rumahnya. Bapaknya yang sudah senja itu suka gampang marah namun juga gampang menangis, kalau kata orang Jawa menyebut nelongsoan

Ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan keluarga, sepertinya mudah menyulut karakter pemarahnya. Apalagi sekarang bertambah dengan sikap curiga dan cemburu pada istrinya. Tak jarang terdengar suara tangisan ibunya Dewi di tengah malam.

Jam tangan biruku telah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Kerudung pun sudah terpasang rapi menutup kepala. Kupastikan kembali dandananku di depan cermin lemari kamarku. Tiba-tiba terdengar tangisan histeris melebihi biasa. Aku kenal sekali itu suara ibunya Dewi. Awalnya aku cuek saja, karena kuanggap hanya pertengkaran kecil seperti biasa. 

Selang waktu lima belas menit kemudian terdengar informasi berita duka dari corong Mushola. "Innalillahi wainailaihi raji`un... Telah berpulang ke rahmatullah saudara kita, Bapak Moh. Akbar...."

Aku mengenal suara itu, suara Pakwak. Kuputuskan untuk keluar berhamburan dengan tetangga yang lain. Ternyata tetanggaku sudah banyak berkumpul karena memang semua warga disini masih terhubung tali saudara. Ibu Dewi tak terlihat, hanya suara tangisnya saja yang menunjukkan ia berada tak jauh dari jenazah suaminya. 

Lalu Dewi dimana?
Ia terlihat lahap menghabiskan sarapan paginya dengan nasi putih dan tempe goreng di teras rumah. Seolah cuek. Ah, anak itu. Keluarga yang melihatnya semakin terharu dengan kepolosannya. Seusai makan ia kembalikan piring bekasnya ke tempat cucian. Lalu meraih tas ransel bututnya. 

"Mau kemana, Nduk?" tanya ibunya saat Dewi berpamitan
"Sekolah, Bu"

Jawaban itu meledakkan kembali suara tangis ibunya. Dewi dengan raut muka yang berubah menjadi bingung, lantas memeluk ibunya sambil berkata, "Sudah, Bu...Sudah. Jangan nangis, Dewi nanti selesai sekolah langsung pulang ke rumah. Sudah ya, cup...cup...cup... jangan menangis." ujarnya polos.

Aku dan orang-orang yang melihat kejadian itu merasa terharu namun juga geli. Dewi benar-benar polos. Seumuran dia, belum paham mengenai kehilangan. Yang ia tahu kematian adalah pergi untuk selamanya. Namun, hanya sekedar tahu tanpa mampu mengerti maksudnya. Larangan ibunya untuk tak berangkat sekolah disambut dengan riang. Ia letakkan kembali atribut sekolah dan berganti dengan pakaian rumahan lalu kembali berlari-lari cekikikan menggoda tetangganya. Ah, Dewi...Semoga kau jadi anak solehah. 

***********************************************
-SRSL-
Alam Semesta, 13062014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar