Senin, 07 Juli 2014

Ketika Harus Memilih

Panggilan mereka pada beliau menunjukkan betapa banyaknya usia saya. Seperempat abad kurang dua tahun. Ukuran tubuh yang cenderung mungil, seringkali lupa bahwa sudah setua itu. Bahkan tinggi badan yang tak jauh berbeda dengan anak SMP membuat saya yakin bila masih imut. 

Ko, aku ngerasa belum mencapai apa-apa yah?

Pernah berpikir seperti itu tidak?
Pikiran itu sering kali menjalar liar tak karuan. Bila sudah kelelahan, aku hanya diam tak ingin berkata dan berpikir apa-apa. Terkadang, tidur pulas ialah mimpi yang menjadi nyata.

Menyadari usia Ibu dan Bapak yang tak lagi muda, membuat saya berpikir keras untuk membahagiakan lebih cepat. Tidak mudah, memang. Namun harus.

Bapak tak pernah mengajakku pergi tamasya. Terakhir, waktu masih usia enam tahun. Saat itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Bila temanku yang lain ditemani Ibunya, maka Bapak ialah pria yang setia memanggulku saat kelelahan mengelilingi arena bermain. 

Ibuku lebih memilih di pasar menggantikan tugas bapak berjualan. Entahlah, bila kutangkap, ibu mengalami semacam keminderan berinteraksi. Mungkin lingkungan itu yang menciptakan saya seperti ini. Lebih memiliki banyak teman di luar rumah daripada dekat dengan tetangga.

Ibuku sosok yang suka bercerita, sesungguhnya. Namun, kini aku kehilangan ke"cerewet"an tersebut. Kesibukan kerja dan kuliah yang menyebabkanku harus pulang malam, hanya bisa menemui ibu yang sedang tertidur pulas dengan dengkuran khasnya. Kini ku tahu, dengkuran itu yang kurindu.

Hidup selalu diliputi pilihan. 
Semuanya selalu beresiko. Menimbang tanggungjawab. Kupikir semuanya harus dipertanggungjawabkan. Memilih untuk mabit dengan teman-teman di kampus atau menemani ibu yang sedang sakit. Perih rasanya. Andai tak begitu diperlukan saat acara kemarin, maka aku akan lebih memilih menghabiskan akhir pekan di rumah.

Malam itu kukatakan pada Ibu, "Bu, saya berangkat ya? Nanti jam 22.00 wib saya pulang, jam 02.00 saya berangkat lagi. Kasihan teman-teman, Bu. Butuh semangat untuk tetap berjuang." 

Kulihat Ibu dengan sedih. Ibu yang saat itu tak berhenti menangis menahan sakit, membuatku semakin miris. Ah, andai tubuh ini bisa membelah. Ibu melepasku dengan iya yang dipaksakan. Aku tak tahu, mungkin dalam tangisan itu menetes pula kekecewaan atas sikapku. 

Pukul 21.30 wib.
Kutulis sebuah pesan singkat di notes catatanku untuk seorang teman.
"Mbak, nanti setelah ramah tamah aku pulang. Jam 02.00 balik lagi. Ibu sakit."
Dijawab anggukan yang berarti iya. Tak akan ada alasan yang menolak untuk itu.

Tiba-tiba layar handphone berkedip. "Yang Mulia Bapak" tertera di layarnya.

Aku beranjak keluar masjid untuk mengangkat telepon.

"Assalamu'alaikum... Iya, Pak?"

"Dimana, Nduk? Nda usah pulang, Ibu udah enakan"
Terdengar suara Bapak di seberang, tak lama disusul suara parau Ibu.
"Ibu sudah enakan, nda usah pulang. Lanjutkan dulu kegiatanmu."

Ada rasa bersalah disitu. Bisa jadi itu hanya ungkapan kasihan karena tak tega melihatku bolak-balik di tengah malam. Tak tenang. Masih.

Alhamdulillah, mabit bulan ini sungguh menyulut semangat untuk terus mengajak beribadah bersama. Meski tujuh orang teman sekelas yang menyatakan hadir, namun ternyata hanya satu orang saja yang diberi rezeki sempat. Namun beberapa peserta yang hadir mengajak teman yang lainnya. Jadi, perhitungan awal tercapai 30 orang peserta, Alhamdulillah tercukupi. Semoga diberikan hidayah yang lebih lagi untukmu. Sahabatku yang lain, semoga diberi rezeki sempat. 

Keesokan harinya, aku bergegas pulang untuk melanjutkan kegiatan dengan teman Forum Lingkar Pena. Lagi-lagi aku harus memilih.

Ibu ternyata masih lemas. Ingin sekali kuurungkan untuk tak ikut kegiatan. Namun, mengingat sudah mengiyakan di pembagian tugas kemarin, membuatku tak enak dengan teman yang lain. Berpikir keras dan menimbang-nimbang lagi. 

Akhirnya... Kuputuskan untuk mengikuti kegiatan dengan memastikan pulang jam 13.00 WIB.

Kegiatan tetap berlangsung namun hati tetap tak tenang. Teringat Ibu selalu.

Selepas kegiatan, aku langsung pulang. Kulihat ibu masih menangis kesakitan, kupeluk ibu dan kuajak tidur. Kujanjikan nanti pukul 16.00 sore untuk mengantar berobaT.

Tiba saatnya berobat. Ujian sabar di depan mata, kami harus menunggu antrean sampai pukul 19.00 WIB. Setelah keluar dari ruang periksa, Ibu mendadak terduduk lemas di kursi tunggu. Ibu pingsan! Masya Allah.... Kupeluk ibu, kucoba bangunkan. Sekitar lima menit ibu tak sadar, setelah menunggu ibu benar-benar kuat untuk berjalan, kamipun pulang.

Sesampainya di rumah, Bapak sudah gelisah karena tak dapat menghubungiku, handphone-ku tertinggal di rumah. Apapun yang terjadi, alhamdulillah... syukur atas kasihMu.. Bila tanpa pertolonganMu, tentu tak dapat lagi kupeluk ibu.

Hidup. Ya hidup.
Selalu memilih. Selalu beresiko. Semoga kita semakin bijak dalam mengambil keputusan...

Allah lagi...lagi...dan lagi.

-SRSL-
Alam Semesta, Juni 2014






Tidak ada komentar:

Posting Komentar