Minggu, 13 Juli 2014

Kelakar Sunyi

Tepat pukul tiga pagi pada Senin dua puluh satu mei dua ribu. Punggungku nampak merunduk dengan tangan melingkar pada kedua kaki. Menyembunyikan wajah di balik semburat hiruk pikuk dengungan lalat. Menutup mata tak menjanjikan dunia terlihat buta. Semua wajah berkeliling meneriakkan suara. Apa-apaan ini?

Kueratkan pelukkan pada kaki dan berusaha menulikan pendengaran. Suara-suara bising masih saja menggelayut parau. Tidak-tidak. Bukan ini yang kumaksud. Semua terasa penuh seakan ingin meluap. Namun hanya ada di dalam, kau tak mampu melihatnya. 

Bila ilalang kering mampu bereinkarnasi, maka fatamorgana wajah-wajah itu semakin kuat menghijau. Ingin sekali kusebarkan sapi, agar mereka menelanmu tanpa sisa. Aku suka sapi, karena ia tak suka berpikir panjang. 

Mata yang masih mengatup, telinga yang ditulikan, serta mulut yang otomatis terkunci. Tuhan, aku masih melihat, aku masih mendengar, namun tak seuntai pun tersampaikan. Aku ingin terlelap. Terkadang, tidur pulas ialah mimpi yang menjadi nyata. 

Tuhan, aku ingin melihatnya dari jauh. Tidak-tidak, dari dekat saja. Agar dapat kulihat senyum membakar itu. Tuhan, aku ingin meraih tangannya, untuk kutarik pada duniaku. Tidak-tidak, hanya agar dia tahu ada satu rasa yang ikhlas kukembalikan padaMu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar