Selasa, 17 Desember 2013

Sudah Bukan Rintik Lagi

Aku tak begitu menyukai hujan. Hujan membuatku harus berpayah melawan saat mengendarai motor. Tetesannya mencipta embun di luar lensa kacamataku. Menutup pandangan. Aku tak suka.

Hujan membuatku repot dengan jas hujan. Bila memakai model atas bawah, aku kesusahan dengan rok span coklatku. Namun, jika memakai model kelelawar, bagian bawah tubuhku kebasahan.

Belum lagi jika aku terjebak hujan dengan temanku. Harus berbagi. Satu sama lain saling berusaha mengalah untuk memakai. Namun tak urung akhirnya kami putuskan untuk tak memakai.

Hujan membuat pria tua penjual sayur itu bersusah mengayuh sepeda bututnya. Gerobak sayur di belakangnya mungkin sudah penuh air karena tak tertutup. Ah, sesenja itu.

Hujan juga membuat pengemudi pick up L-300 hitam tersebut tak bertanggungjawab atas gesekan pada sepeda anak SMP. Kau tahu, aku dan ibu di sebelahku hanya bisa terkejut, lalu berteriak istighfar melihatnya bangkit dengan sepedanya.

Namun setidaknya, hujan membuat riang anak-anak SD selepas bel pulang berdering.

Jumat, 13 Desember 2013

Ketika Seseorang Berkata Padaku

Seseorang berkata padaku, "Apakah kamu ingin jadi ustadzah?" 

Kalimat yang terlontar dalam sebuah percakapan SMS. Ketika aku mulai mencari informasi mengenai kursus mengaji atau informasi kegiatan keagamaan. Ditambah perubahanku dua bulan terakhir ini. Perubahan penampilan lebih tepatnya. 

Seseorang berkata kepadaku, "ketika kamu hendak memakai pakaian, pasanglah kancing dari bawah seraya berdoa agar pakaian yang kamu kenakan mampu mengangkat derajatmu." 

Sejak itu aku mulai menerapkannya. Arti filosofinya mungkin begini, ketika kita mengancing dari bawah dapat diartikan pergerakan untuk mencapai derajat tertentu selalu diawali dari level terendah, kemudian sedikit demi sedikit merangkak ke atas. Berdoa seperti itu menarikku untuk berpikir dua kali dalam berpakaian. Ketika pakaian yang ku kenakan terasa tak sepantasnya, maka akan timbul rasa malu. Masa iya, kita mengenakan baju tak patut tapi minta dinaikkan derajatnya? 

Seseorang berkata padaku, "Ketika bercermin hendaknya kamu berdoa agar Allah membaikkan akhlakmu sebaik Dia menciptakan dirimu."

Sama dengan berpakaian, kini aku mulai menerapkannya saat bercermin. Meski sering lupa juga. Ketika lupa dan segera ingat kelalaian, maka lekas-lekas aku berdoa sembari menutup mata agar tak melihat ke cermin dulu. 

Seseorang berkata padaku, "Ketika kamu marah, diamlah."

Pada dasarnya aku adalah seorang yang mudah meninggi. Mudah tersinggung dan mudah menyolot. Tapi juga mudah dingin. Ketika dingin, rasa sesal kerap muncul, akibatnya sering salah tingkah sendiri. Ketika ia berkata padaku, aku berusaha untuk menarik nafas panjang dan diam. Meski terkadang masih susah menjalankannya. Tapi alhamdulillah, emosiku sudah mulai bisa ditaklukkan. Lalu seseorang lagi berkata padaku, "Ketika marah, bacalah surat Al Ihklas sambil menarik nafas dan rasakan ayat-ayatnya memenuhi rongga hatimu. Lakukan 3x. Lalu ia melanjutkan, "Jadilah seperti surat Al-Ikhlas, ketika kamu ikhlas tak perlu diucapkan karena Al-Ikhlas pun tak pernah menyebutkan kata "ikhlas" dalam susunan ayatnya."

Lalu, seseorang berkata lagi padaku, "Kalau ada adzan, jangan berisik. Simak dan dengarkan, karena orang yang tak menghiraukan adzan nanti di akhirat dibuat tidak dengar ketika namanya dipanggil"

Langsung takut, entah benar entah tidak. Seyogyanya, yang ku tahu menghormati adzan adalah mendengarkan dan menyimak. Jadi, tak ada salahnya kan? Ditambah dengan membaca doa setelah adzan berkumandang. Makin sip! 

Ketika terjaga, aku berusaha berdoa agar diberi ketajaman intuisi. Peka terhadap nasehat, juga suka dengan kritik orang lain. Berbicara tentang kritik, jadi ingat pengalamanku dulu. Pagi itu, sembari bersiap kerja aku berdoa, "Ya Allah, lebarkan telingaku agar mampu menampung setiap kritikan, juga luaskan hati dan pikiranku agar tak mudah tersulut emosi sebelum benar-benar mencernanya dengan baik. Ketika sampai di tempat kerja, ada kritikan pedas yang ku terima. Entah karena doaku sudah di dengar atau kebetulan (Ah, tak pernah ada kebetulan), kala itu aku langsung diam dan berpikir. 

Terkadang, seseorang membutuhkan waktu panjang untuk sekedar bisa membaca gerak dan bekas yang ada pada diri. Aku pribadi masih tertatih-tatih dalam hal ini. "Who am I? " Pertanyaan ini selalu bergelayut manja. Kata orang, apa yang kita temui adalah apa yang kita lakukan. Semacam karma, mungkin. Seseorang juga pernah berkata, ketika ia mengalami hal tidak mengenakkan dari orang lain, seketika ia berbicara pada dirinya, "Apakah aku pernah memperlakukan orang seperti ini?"

Perlahan namun pasti, setiap perubahan besar selalu di awali yang kecil. Aku yakin. Semoga. 
Kini, aku tidak perduli dengan perkataan orang mengenai penampilan baruku. Terserah mereka mau bilang aku seperti guru ngaji, guru agama, atau apalah. Aku doakan semoga yang berkata begitu segera mengikutiku, karena dulu aku juga bersikap seperti itu terhadap mereka yang berpakaian tertutup. Nah...kan?

Ah..pe-er ku masih banyak. Amat sangat banyak. 
Percaya deh...Allah senang lihat hamba-Nya berusaha memperbaiki dirinya. Bukankah Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa ia berusaha merubahnya? 




Rabu, 11 Desember 2013

Tuhan, Ijinkan Ku Lihat Rupaku Dalam Cermin

Apakah selamanya aku menjadi aku?
Apakah watak adalah aku?
Apakah karakter adalah takdir?

Di pagi hari sebelum memulai aktifitas, sembari berbenah di depan kaca lemari kamar. Aku selalu menyisihkan waktu untuk berdialog dengan bayangan dalam cermin. Bayangan yang mereka sebut AKU. Sambil manggut-manggut menatap bayangan, ku selipkan doa, "Ya Allah, baikkan akhlakku sebaik Engkau menciptakan diriku". 

Doa lain yang selalu kubisikkan, "Tuhan, pertemukan aku dengan orang baik yang bisa membaikkanku." Dibalik doa itu beriring tanda tanya besar. Aku selalu bertanya balik pada refleksi dalam cermin, Tuhan, apakah orang-orang yang aku temui juga berdoa yang sama denganku? Apakah aku orang baik yang Engkau pilih atas jawaban doa mereka?

Aku percaya setiap perjumpaan adalah bagian dari catatan-Nya. Aku selalu berusaha untuk "mencuri" sesuatu dari setiap orang yang ku temui. Mencuri kesopanannya, mencuri keanggunannya, mencuri ketulusannya, mencuri kesabarannya, mencuri keriangannya, mencuri ketegasannya, mencuri kesederhanaannya, mencuri kewibawaannya, mencuri...mencuri...mencuri...

Aku akan terus berusaha mencurinya dari mereka. Oya, bukankah mencuri kebaikan seseorang tidak akan mengurangi kadarnya? Bukankah setiap kebaikan yang berhasil ditiru adalah amalan jariyah tak terduga baginya?

Aku harus menjadi pencuri...
Tak cukup pencuri hatimu saja. :D



Minggu, 08 Desember 2013

Ondomohen, Simpan Senjaku Selalu Untuknya!

Oleh : Rahayu Lestary

Entah sudah berapa senja ku habiskan dengan senyuman sendu. Duduk manis bercengkerama dengannya seakan membunuh kenyataan memilukan. Andai pria ini memiliki keberanian sebesar gunung, mungkin tamparan berita itu akan sampai dengan pasti di telingaku.

Menyusuri senja bersamaku di sepanjang jalan Ondomohen seakan menjadi rutinitas baginya. Tak peduli seberapa keras rengekan pelanggan di ujung ponsel genggamnya. Ia begitu sabar menuntun tubuhku yang ringkih terbalut sweater biru kesayangaku.

Daun pohon yang terus tumbuh seakan menjadi payung surga bagi kami, pengantin yang tak lagi baru. Sepuluh tahun bersamanya tanpa kehadiran seorang anak tak membuatnya lepas setia. Sakit mematikan yang ku derita pun tak membuatnya resah dengan resiko kepastian tertular. Ya, aku postitif pengidap HIV. Virus mematikan dari jarum dosa di masa lalu.

Rumah kami tak jauh dari Ondomohen, tepatnya di jalan Jagung Suprapto. Rumah model Belanda hadiah dari sebuah LSM yang peduli terhadap pesakitan sepertiku. Aku dan ia masih menjadi aktivis pemerangan Narkoba di Surabaya. Namun, satu tahun terakhir aku sudah tidak mampu bertugas secara maksimal. Malah lebih sering kawan-kawan mengunjungiku ke rumah.

Mas Yudi, nama suamiku. Ialah malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Ketika aku begitu menjauh dari-Nya, dia begitu lembutnya menarikku kembali pada-Nya. Kami memiliki latar belakang yang berbeda. Ia lelaki perkasa bertulang punggung sempurna dan jauh dari penyakit, begitu relanya melepaskan untukku. Sejak awal ia telah tahu dan siap dengan segala resikonya. Ah Mas… tak cukup seribu malam ku tulis kisah untukmu. Sekali lagi ku katakan, Tuhan begitu baik.

Ketika malam tiba, ia selalu menyeduh dua cangkir teh hangat untukku dan untuknya. Taman belakang adalah tempat favorit kami. Kolam kecil di ujung taman serta ayunan kayu sengaja ia buat untuk memanjakanku. Ia selalu lebih tahu apa mauku sebelum bibirku terbuka. Cinta terkadang lebih hebat dari sihir.

Bercengkerama menghabiskan malam dalam pelukan hangat adalah surga Tuhan kedua setelah surga kekal-Nya. Walau tak yakin pasti apakah surga masih merindukanku. Dalam rengkuhan manja, aku bertanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Rengkuhan yang semakin dalam ialah jawabannya. Aku tak pernah berhasil mendapatkan jawaban lugas darinya, tapi selalu bisa ku cerna dari sinar mata dan hembus nafasnya. Terasa sekali, ketika ku dekap, ia mendekap lebih dekat. Lebih erat. Hingga ku dengar detak jantungnya. Begitu dekat. Tuhan, ijinkan aku menyembunyikan mentari agar pagi tak menjelang.

Hari ini Mas Yudi berangkat kerja pagi-pagi sekali karena ada pekerjaan di Bojonegoro. Ia mengenakan kemeja biru bergaris putih dengan senyum yang terus merekah. Aku tak curiga, karena memang begitu kebiasaannya. Diraihnya kunci mobil, lalu dikecup keningku dan ku sambut dengan belaian lembut pada jemarinya. Tak lama Kijang hitamnya melaju perlahan.

Selepas kepergian Mas Yudi, aku kembali ke kamar dengan kursi rodaku. Aku sudah tak mampu berjalan. Kursi roda menjadi penopang tubuhku kini. Ku raih bingkai poto pernikahan kami di meja, kembali aku terhanyut dalam isak. Ketika sendiri, aku selalu merasa tak mampu menjadi istri sempurna untuknya. Tak mampu memberikan anak, mengurusi dapur, mengurus pakaian, atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Bahkan, sekedar membersihkan tubuh pun aku tak bisa.

Mas Yudi pernah berkata, masakanku selalu membuatnya rindu, terutama ayam goreng bumbu rujak buatanku. Itu makanan favoritnya. Dulu selalu ku sempatkan setiap akhir pekan memasak untuknya. Namun kini, semua hanya kenangan. Aku semakin lemah.

Aku terus merasa sepi dan sendiri. Ayah dan Ibu telah meninggal beberapa tahun silam. Sanak saudara pun tak punya. Penyakit ini membuat mereka enggan mencariku, bahkan mengutuk untuk tujuh turunan mereka. Kembali aku merasa sendiri.

Pukul tujuh malam, tak juga ku dengar pintu pagar dibuka. Setiap terdengar deru mobil, aku melongok ke jendela berharap itu suamiku. Ah, lagi-lagi bukan. Ratusan kali ku telpon, tak ada respon darinya. Ku coba hubungi kembali. Tiba-tiba puluhan sms masuk bertubi-tibu.

“Assalamu’alaikum  Bun, Bunda maafkan Abi, disini signal trouble, Abi tak bisa menghubungi Bunda. Bunda sedang apa? Sudah makan? Sudah sholat? Obatnya sudah dimakan? Abi sudah perjalanan, tiga puluh menit lagi Abi sampai.”  Beberapa pesan yang sama masuk berkali-kali. Tak lama Mas Yudi menelpon, menjawab kegelisahanku.

Kau tahu? Tak terukur leganya ketika kau lihat orang yang kau sayangi dapat kau sentuh. Seperti menunggu kerang membuka cangkangnya, indah sekali cahaya di dalamnya. Mas Yudi tampak begitu lelah malam ini, setelah mengurusiku ia bergegas membersihkan diri. Malam ini rasanya rindu sekali padanya. 
***
Ini adalah senja ke sekian kalinya. Dapat ku rasakan tubuhku tak lagi bertulang, ngilu disana sini, berat badan yang semakin menurun, serta pandangan yang kian buram. Sekali lagi ku Tanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Senyummu kini menjadi jawaban atas pertanyaan yang tak pernah lelah ku ulang.

Kali ini kami duduk di depan Kotamadya Surabaya, menikmati lalu lalang kendaraan dan keriangan anak kecil yang berlarian di depan air mancur. Aku selalu bisa melihat kerinduan di matanya, ketika diam-diam ia mencuri pandang pada mereka. Maafkan aku, Mas. Bisikku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang balita berlari mengejar bola plastik yang melaju ke jalan raya. Sekilas ku lihat orang tuanya sedang antri membeli pentol di sebelah. Tak menyadari kelalaiannya. Entah bagaimana awalnya, Mas Yudi sudah terkapar di tengah jalan dengan tangisan balita itu di sebelahnya. Suara benturan tubuh dan deritan rem beradu pada ban di jalan. Darah segar tampak keluar dari area kepalanya. Aku tersedak dalam teriakan panjang. Seketika tubuhku lemas tak berdaya.

Di sudut jalan Ondomohen, di bawah payung surga, kau rebahkan duka dengan bekal senyumku dalam dekapan. Tuhan, tak semudah ini kisahku. Kau tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit. Bisikku lirih.
----------------------------------------------------------------------------------------

(Sidoarjo, Desember 2013)
Tugas Cerpen FLP


Jumat, 06 Desember 2013

Benalu

Seperti jarum jam, berputar tapi tetap satu poros.
Terjangkau namun tak kunjung pasti.
Kanda, apakah engkau Tuhan bagiku?

Hingga satu ketika, tenagamu terputus tanpa sengatan listrik.
Tak berdetak. Tiada yang membantumu.
Menerawang matahari menebak waktu.
Kanda, apakah aku Tuhan bagimu?



K A R M A


Sekali lagi, ku lihat pria tua itu disana
Lampu merah seakan surga baginya
Sengatan matahari bagai cahaya penerang
Kumpulan asap yang mengepul bagai oksigen

Bergerak dari satu kaca ke kaca yang lain
Menjajakan roti goreng dengan tangan keriput
Sebagian pengemudi sengaja membeli karena iba
Kaos lusuh hadiah kampanye sebagai pembungkus aurat
Bau keringat yang menyengat
Membuat Lalat enggan mendekat

Jalannya sudah tak lagi tegap
Sesekali terhuyung dan mengendap
Kakinya yang penuh borok
Menandakan tingginya kadar gula dalam tubuh
Semut nakal seringkali menggerogoti kakinya

Tat kala letih, di letakkan ember dagangan di sisinya
Duduk sendu di bawah rambu tak boleh berhenti
Berkipas kardus lusuh yang dibawa entah berapa lama

Mungkin dinginnya hujan, dihitungnya bonus pendingin ruangan
Dewi fortuna tak selalu berpihak padanya
Tenaga semakin rapuh, tapi tubuh butuh peneguh

Timbul pertanyaan dalam benak penumpang angkot
Kemana keluarganya?
Dimana anaknya?
Haruskah pria se-senja itu merangkak mengais rejeki?
Berjuta pertanyaan menusuk rongga dada mereka

Lagi-lagi ku perhatikan kembali
Iba ku telah mengeras beribu hari lalu
Pantaslah pria sekejam itu berjuang untuk hidupnya
Tat kala tiada padi yang ditanam
Bagaimana bisa ia mengharap sejumput beras?
Melupakan hempasan tangan di setiap bagian tubuh
Tak semudah menyulam celana yang robek
Ada harga yang harus dibayar
Biarlah ia, merakit menutup dosanya di pinggiran jalan ibukota



(Sidoarjo, Rahayu Lestary)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tugas FLP Kelas Puisi