Oleh
: Rahayu Lestary
Entah
sudah berapa senja ku habiskan dengan senyuman sendu. Duduk manis bercengkerama
dengannya seakan membunuh kenyataan memilukan. Andai pria ini memiliki
keberanian sebesar gunung, mungkin tamparan berita itu akan sampai dengan pasti
di telingaku.
Menyusuri
senja bersamaku di sepanjang jalan Ondomohen seakan menjadi rutinitas baginya.
Tak peduli seberapa keras rengekan pelanggan di ujung ponsel genggamnya. Ia
begitu sabar menuntun tubuhku yang ringkih terbalut sweater biru kesayangaku.
Daun
pohon yang terus tumbuh seakan menjadi payung surga bagi kami, pengantin yang
tak lagi baru. Sepuluh tahun bersamanya tanpa kehadiran seorang anak tak
membuatnya lepas setia. Sakit mematikan yang ku derita pun tak membuatnya resah
dengan resiko kepastian tertular. Ya, aku postitif pengidap HIV. Virus
mematikan dari jarum dosa di masa lalu.
Rumah
kami tak jauh dari Ondomohen, tepatnya di jalan Jagung Suprapto. Rumah model
Belanda hadiah dari sebuah LSM yang peduli terhadap pesakitan sepertiku. Aku
dan ia masih menjadi aktivis pemerangan Narkoba di Surabaya. Namun, satu tahun
terakhir aku sudah tidak mampu bertugas secara maksimal. Malah lebih sering
kawan-kawan mengunjungiku ke rumah.
Mas
Yudi, nama suamiku. Ialah malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Ketika aku
begitu menjauh dari-Nya, dia begitu lembutnya menarikku kembali pada-Nya. Kami
memiliki latar belakang yang berbeda. Ia lelaki perkasa bertulang punggung
sempurna dan jauh dari penyakit, begitu relanya melepaskan untukku. Sejak awal
ia telah tahu dan siap dengan segala resikonya. Ah Mas… tak cukup seribu malam
ku tulis kisah untukmu. Sekali lagi ku katakan, Tuhan begitu baik.
Ketika
malam tiba, ia selalu menyeduh dua cangkir teh hangat untukku dan untuknya.
Taman belakang adalah tempat favorit kami. Kolam kecil di ujung taman serta
ayunan kayu sengaja ia buat untuk memanjakanku. Ia selalu lebih tahu apa mauku
sebelum bibirku terbuka. Cinta terkadang lebih hebat dari sihir.
Bercengkerama
menghabiskan malam dalam pelukan hangat adalah surga Tuhan kedua setelah surga
kekal-Nya. Walau tak yakin pasti apakah surga masih merindukanku. Dalam
rengkuhan manja, aku bertanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Rengkuhan yang
semakin dalam ialah jawabannya. Aku tak pernah berhasil mendapatkan jawaban
lugas darinya, tapi selalu bisa ku cerna dari sinar mata dan hembus nafasnya. Terasa
sekali, ketika ku dekap, ia mendekap lebih dekat. Lebih erat. Hingga ku dengar
detak jantungnya. Begitu dekat. Tuhan, ijinkan aku menyembunyikan mentari agar
pagi tak menjelang.
Hari
ini Mas Yudi berangkat kerja pagi-pagi sekali karena ada pekerjaan di Bojonegoro. Ia mengenakan kemeja
biru bergaris putih dengan senyum yang terus merekah. Aku tak curiga, karena
memang begitu kebiasaannya. Diraihnya kunci mobil, lalu dikecup keningku dan ku
sambut dengan belaian lembut pada jemarinya. Tak lama Kijang hitamnya melaju
perlahan.
Selepas
kepergian Mas Yudi, aku kembali ke kamar dengan kursi rodaku. Aku sudah tak
mampu berjalan. Kursi roda menjadi penopang tubuhku kini. Ku raih bingkai poto
pernikahan kami di meja, kembali aku terhanyut dalam isak. Ketika sendiri, aku
selalu merasa tak mampu menjadi istri sempurna untuknya. Tak mampu memberikan
anak, mengurusi dapur, mengurus pakaian, atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Bahkan,
sekedar membersihkan tubuh pun aku tak bisa.
Mas
Yudi pernah berkata, masakanku selalu membuatnya rindu, terutama ayam goreng
bumbu rujak buatanku. Itu makanan favoritnya. Dulu selalu ku sempatkan setiap
akhir pekan memasak untuknya. Namun kini, semua hanya kenangan. Aku semakin
lemah.
Aku
terus merasa sepi dan sendiri. Ayah dan Ibu telah meninggal beberapa tahun
silam. Sanak saudara pun tak punya. Penyakit ini membuat mereka enggan
mencariku, bahkan mengutuk untuk tujuh turunan mereka. Kembali aku merasa
sendiri.
Pukul
tujuh malam, tak juga ku dengar pintu pagar dibuka. Setiap terdengar deru
mobil, aku melongok ke jendela berharap itu suamiku. Ah, lagi-lagi bukan.
Ratusan kali ku telpon, tak ada respon darinya. Ku coba hubungi kembali.
Tiba-tiba puluhan sms masuk bertubi-tibu.
“Assalamu’alaikum Bun, Bunda maafkan Abi, disini signal trouble, Abi tak bisa menghubungi
Bunda. Bunda sedang apa? Sudah makan? Sudah sholat? Obatnya sudah dimakan? Abi
sudah perjalanan, tiga puluh menit lagi Abi sampai.” Beberapa pesan yang sama masuk berkali-kali.
Tak lama Mas Yudi menelpon, menjawab kegelisahanku.
Kau
tahu? Tak terukur leganya ketika kau lihat orang yang kau sayangi dapat kau
sentuh. Seperti menunggu kerang membuka cangkangnya, indah sekali cahaya di
dalamnya. Mas Yudi tampak begitu lelah malam ini, setelah mengurusiku ia
bergegas membersihkan diri. Malam ini rasanya rindu sekali padanya.
***
Ini
adalah senja ke sekian kalinya.
Dapat ku rasakan tubuhku tak lagi bertulang, ngilu disana sini, berat badan yang semakin menurun,
serta pandangan yang kian buram. Sekali lagi ku Tanya, “Kenapa kau sayang
padaku?”. Senyummu kini menjadi jawaban atas pertanyaan yang tak pernah lelah
ku ulang.
Kali
ini kami duduk di depan Kotamadya Surabaya, menikmati lalu lalang kendaraan dan
keriangan anak kecil yang berlarian di depan air mancur. Aku selalu bisa
melihat kerinduan di matanya, ketika diam-diam ia mencuri pandang pada mereka. Maafkan
aku, Mas. Bisikku dalam hati.
Tiba-tiba, seorang balita berlari mengejar
bola plastik yang melaju ke jalan raya. Sekilas ku lihat orang tuanya sedang
antri membeli pentol di sebelah. Tak menyadari kelalaiannya. Entah bagaimana
awalnya, Mas Yudi sudah terkapar di tengah jalan dengan tangisan balita itu di
sebelahnya. Suara benturan tubuh dan deritan rem beradu pada ban di jalan. Darah
segar tampak keluar dari area kepalanya. Aku tersedak dalam teriakan panjang.
Seketika tubuhku lemas tak berdaya.
Di sudut jalan Ondomohen, di bawah payung
surga, kau rebahkan duka
dengan bekal senyumku dalam dekapan. Tuhan, tak semudah ini kisahku. Kau
tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit. Bisikku lirih.
----------------------------------------------------------------------------------------
(Sidoarjo, Desember 2013)
Tugas Cerpen FLP
(y)
BalasHapusmakasih buat komen singkatnya :D
BalasHapusaku suka kalimat penutupnya :) harus emote sedih atau seneng ya..
BalasHapus"Kau tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit"
good job! tulisanku juga bercerita ttg kematian..
Awalnya bukan cerita kematian, tapi mboh ko bisa nyambung ke hiv juga. :3
Hapussudah di posting ta? aku mampir. heuheuheu