Minggu, 08 Desember 2013

Ondomohen, Simpan Senjaku Selalu Untuknya!

Oleh : Rahayu Lestary

Entah sudah berapa senja ku habiskan dengan senyuman sendu. Duduk manis bercengkerama dengannya seakan membunuh kenyataan memilukan. Andai pria ini memiliki keberanian sebesar gunung, mungkin tamparan berita itu akan sampai dengan pasti di telingaku.

Menyusuri senja bersamaku di sepanjang jalan Ondomohen seakan menjadi rutinitas baginya. Tak peduli seberapa keras rengekan pelanggan di ujung ponsel genggamnya. Ia begitu sabar menuntun tubuhku yang ringkih terbalut sweater biru kesayangaku.

Daun pohon yang terus tumbuh seakan menjadi payung surga bagi kami, pengantin yang tak lagi baru. Sepuluh tahun bersamanya tanpa kehadiran seorang anak tak membuatnya lepas setia. Sakit mematikan yang ku derita pun tak membuatnya resah dengan resiko kepastian tertular. Ya, aku postitif pengidap HIV. Virus mematikan dari jarum dosa di masa lalu.

Rumah kami tak jauh dari Ondomohen, tepatnya di jalan Jagung Suprapto. Rumah model Belanda hadiah dari sebuah LSM yang peduli terhadap pesakitan sepertiku. Aku dan ia masih menjadi aktivis pemerangan Narkoba di Surabaya. Namun, satu tahun terakhir aku sudah tidak mampu bertugas secara maksimal. Malah lebih sering kawan-kawan mengunjungiku ke rumah.

Mas Yudi, nama suamiku. Ialah malaikat yang dikirim Tuhan untukku. Ketika aku begitu menjauh dari-Nya, dia begitu lembutnya menarikku kembali pada-Nya. Kami memiliki latar belakang yang berbeda. Ia lelaki perkasa bertulang punggung sempurna dan jauh dari penyakit, begitu relanya melepaskan untukku. Sejak awal ia telah tahu dan siap dengan segala resikonya. Ah Mas… tak cukup seribu malam ku tulis kisah untukmu. Sekali lagi ku katakan, Tuhan begitu baik.

Ketika malam tiba, ia selalu menyeduh dua cangkir teh hangat untukku dan untuknya. Taman belakang adalah tempat favorit kami. Kolam kecil di ujung taman serta ayunan kayu sengaja ia buat untuk memanjakanku. Ia selalu lebih tahu apa mauku sebelum bibirku terbuka. Cinta terkadang lebih hebat dari sihir.

Bercengkerama menghabiskan malam dalam pelukan hangat adalah surga Tuhan kedua setelah surga kekal-Nya. Walau tak yakin pasti apakah surga masih merindukanku. Dalam rengkuhan manja, aku bertanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Rengkuhan yang semakin dalam ialah jawabannya. Aku tak pernah berhasil mendapatkan jawaban lugas darinya, tapi selalu bisa ku cerna dari sinar mata dan hembus nafasnya. Terasa sekali, ketika ku dekap, ia mendekap lebih dekat. Lebih erat. Hingga ku dengar detak jantungnya. Begitu dekat. Tuhan, ijinkan aku menyembunyikan mentari agar pagi tak menjelang.

Hari ini Mas Yudi berangkat kerja pagi-pagi sekali karena ada pekerjaan di Bojonegoro. Ia mengenakan kemeja biru bergaris putih dengan senyum yang terus merekah. Aku tak curiga, karena memang begitu kebiasaannya. Diraihnya kunci mobil, lalu dikecup keningku dan ku sambut dengan belaian lembut pada jemarinya. Tak lama Kijang hitamnya melaju perlahan.

Selepas kepergian Mas Yudi, aku kembali ke kamar dengan kursi rodaku. Aku sudah tak mampu berjalan. Kursi roda menjadi penopang tubuhku kini. Ku raih bingkai poto pernikahan kami di meja, kembali aku terhanyut dalam isak. Ketika sendiri, aku selalu merasa tak mampu menjadi istri sempurna untuknya. Tak mampu memberikan anak, mengurusi dapur, mengurus pakaian, atau pekerjaan remeh temeh lainnya. Bahkan, sekedar membersihkan tubuh pun aku tak bisa.

Mas Yudi pernah berkata, masakanku selalu membuatnya rindu, terutama ayam goreng bumbu rujak buatanku. Itu makanan favoritnya. Dulu selalu ku sempatkan setiap akhir pekan memasak untuknya. Namun kini, semua hanya kenangan. Aku semakin lemah.

Aku terus merasa sepi dan sendiri. Ayah dan Ibu telah meninggal beberapa tahun silam. Sanak saudara pun tak punya. Penyakit ini membuat mereka enggan mencariku, bahkan mengutuk untuk tujuh turunan mereka. Kembali aku merasa sendiri.

Pukul tujuh malam, tak juga ku dengar pintu pagar dibuka. Setiap terdengar deru mobil, aku melongok ke jendela berharap itu suamiku. Ah, lagi-lagi bukan. Ratusan kali ku telpon, tak ada respon darinya. Ku coba hubungi kembali. Tiba-tiba puluhan sms masuk bertubi-tibu.

“Assalamu’alaikum  Bun, Bunda maafkan Abi, disini signal trouble, Abi tak bisa menghubungi Bunda. Bunda sedang apa? Sudah makan? Sudah sholat? Obatnya sudah dimakan? Abi sudah perjalanan, tiga puluh menit lagi Abi sampai.”  Beberapa pesan yang sama masuk berkali-kali. Tak lama Mas Yudi menelpon, menjawab kegelisahanku.

Kau tahu? Tak terukur leganya ketika kau lihat orang yang kau sayangi dapat kau sentuh. Seperti menunggu kerang membuka cangkangnya, indah sekali cahaya di dalamnya. Mas Yudi tampak begitu lelah malam ini, setelah mengurusiku ia bergegas membersihkan diri. Malam ini rasanya rindu sekali padanya. 
***
Ini adalah senja ke sekian kalinya. Dapat ku rasakan tubuhku tak lagi bertulang, ngilu disana sini, berat badan yang semakin menurun, serta pandangan yang kian buram. Sekali lagi ku Tanya, “Kenapa kau sayang padaku?”. Senyummu kini menjadi jawaban atas pertanyaan yang tak pernah lelah ku ulang.

Kali ini kami duduk di depan Kotamadya Surabaya, menikmati lalu lalang kendaraan dan keriangan anak kecil yang berlarian di depan air mancur. Aku selalu bisa melihat kerinduan di matanya, ketika diam-diam ia mencuri pandang pada mereka. Maafkan aku, Mas. Bisikku dalam hati.

Tiba-tiba, seorang balita berlari mengejar bola plastik yang melaju ke jalan raya. Sekilas ku lihat orang tuanya sedang antri membeli pentol di sebelah. Tak menyadari kelalaiannya. Entah bagaimana awalnya, Mas Yudi sudah terkapar di tengah jalan dengan tangisan balita itu di sebelahnya. Suara benturan tubuh dan deritan rem beradu pada ban di jalan. Darah segar tampak keluar dari area kepalanya. Aku tersedak dalam teriakan panjang. Seketika tubuhku lemas tak berdaya.

Di sudut jalan Ondomohen, di bawah payung surga, kau rebahkan duka dengan bekal senyumku dalam dekapan. Tuhan, tak semudah ini kisahku. Kau tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit. Bisikku lirih.
----------------------------------------------------------------------------------------

(Sidoarjo, Desember 2013)
Tugas Cerpen FLP


4 komentar:

  1. aku suka kalimat penutupnya :) harus emote sedih atau seneng ya..

    "Kau tunjukkan kembali, Izrail tak selalu hadir dalam undangan sakit"

    good job! tulisanku juga bercerita ttg kematian..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awalnya bukan cerita kematian, tapi mboh ko bisa nyambung ke hiv juga. :3
      sudah di posting ta? aku mampir. heuheuheu

      Hapus